TIGA LANDASAN FILSAFAT ILMU DAN KAITANNYA DENGAN KOMUNIKASI*
- Get link
- Other Apps
Tiga
Landasan Filsafat Ilmu dan Komunikasi
1. Ontologis
Menurut Jujun S.
Suriasumantri, ontologis membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori
tentang ‘Ada’. Hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah bahwa ilmu
pengetahuan mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya.
Dalam hal
memahami ontologis sebagai tafsiran tentang ada, setidaknya ada dua pandangan
terkait dengan itu, antara lain:
a. Monistik
atau Monoisme
Pandangan
monistik berpendapat bahwa hakikat asal dari seluruh kenyataan hanyalah satu,
tidak ada perbedaan antara pikiran dan zat mereka hanya berbeda dalam gejala
disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama.
Pandangan ini
berawal dari pemikiran materialisme yang
dikembangkan oleh Democritos (460-370 SM) yang mengatakan bahwa hanya atom dan
kehampaan yang bersifat nyata. Materialisme merupakan salah satu wujud dari
paham naturalisme yang sebelumnya
membantah tentang paham supernaturlisme
yang mengatakan bahwa ada kekuatan gaib
yang lebih berkuasa dalam alam nyata. Materialisme berpandangan bahwa
gejala-gejala alam tidak berasal dari kekuatan-kekuatan gaib tetapi berasal
dari kekuatan-kekuatan yang berasal dari alam itu sendiri.
Apa yang terjadi
dan dirasakan dalam hidup ini ditangkap oleh panca indera dan disalurkan ke
otak sehingga terjadi gejala-gejala alam. Manusia dalam menanggapi
gejala-gejala alam ini ada yang menganggapi bahwa gejala alam hanyalah gejala
kimia-fisika disebut mekanistik dan ada pula yang menanggapi gejala alam
sebagai sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dari sebuah proses
yang dikenal sebagai kaum vitalistik.
b. Dualistik
atau Dualisme
Pendapat tentang
monistik ini ditolak oleh penganut paham dualisme
yang mengatakan bahwa ada perbedaan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang
bagi mereka berbeda secara substantif. Filsuf yang menganut paham dualisme ini
adalah Rene Descartes (1596-1650), Jhon Locke (1632-1714) dan George Barkely
(1685-1753).
Ketiga filsuf
ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan
dari pengalaman manusia adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang
bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikirlah maka sesuatu ada.
Pernyataan Descartes yang terkenal adalah Cogito
ergo sum (saya berpikir maka saya ada).
Paham ini kemudian terkenal dengan paham rasionalisme, paham
filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah terpenting dalam memperoleh
pengetahuan dan menguji pengetahuan.
Dengan demikian
ontologi merupakan pemikiran kita mengenai siapa yang mengetahui. Ontologi
merupakan sebuah filosofi yang berhadapan dengan sifat makhluk hidup. Dalam
ilmu sosial, ontologi sebagian besar berhadapan dengan sifat keberadaan
manusia, sedangkan dalam komunikasi ontologi berpusat pada sifat interaksi
sosial manusia.
Landasan
filosofis ontologi dalam komunikasi menjadi sangat penting karena seorang pakar
komunikasi akan mengonseptualiskan komunikasi tergantung bagaimana ia melihat
hakikat komunikasi. Menurut Stephen W. Littlejhon setidaknya ada empat masalah
penting yang perlu dipertanyakan;
Pertama, pada tingkatan apa manusia membuat
pilihan-pilihan yang nyata? Dalam
hal ini ada tiga kaum yang memiliki cara pandang yang berbeda tentang
apakah ada pilihan yang nyata. Disatu sisi ada kaum determinis yang menyatakan bahwa perilaku disebabkan oleh banyak
kondisi sebelumnya yang sebagian besar menentukan perilaku manusia. Disisi yang
lainnya lagi ada kaum pragmatis yang
menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang aktif yang merencanakan
perilakunya untuk mencapai tujuan masa depan. Lalu ada yang berada pada posisi
tengah yang menyatakan bahwa orang-orang membuat pilihan dalam jangkauan yang
terbatas atau bahwa beberapa perilaku telah ditentukan, sedangkan perilaku yang
lain dilakukan dengan bebas.
Kedua, apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami
dalam bentuk keadaan atau sifat? Dalam hal ini ada dua dimensi utama yaitu
antara keadaan dan sifat. Pandangan keadaan
menyatakan bahwa manusia bersifat
dinamis dan mengalami banyak keadaan dalam satu hari, satu tahun dan seumur
hidup. Pandangan sifat menyatakan
bahwa manusia sebagian besar dapat diperkirakan karena manusia menunjukkan
karakteristik yang kurang lebih konsisten sepanjang waktu. Da ditengah-tengah
itu ada yang berpendapat bahwa baik keadaan mamupun sifat dapat
mengarakterisasi perilaku manusia.
Ketiga, apakah pengalaman manusia semata-mata
individual atau sosial? Pertanyaan ontologis ini sangat penting karena
berhubungan dengan fokus dalam memahami interaksi manusia. Walaupun manusia
adalah makhluk sosial namun penting juga untuk melihat interaksinya secara
individu terkait dengan jiwa manusia dan seterusnya bagaimana interaksi manusia
dalam sebuah kelompok dan kebudayaan.
Keempat, pada tingkatan mana komunikasi akan
kontekstual? Fokus pertanyaan ini adalah apakah perilaku diatur oleh
prinsip-prinsip universal atau apakah hal ini bergantung pada faktor-faktor
universal.
2. Epistemologis
Epistemologis
adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Bermula dari sikap skeptis
dimana para sophis bertanya, seberapa
jauh pemikiran kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif,
seberapa jauh pula merupakan subjektif manusia? Apakah kita mempunyai
pengetahuan mengenai kodrat sebagaimana adanya?
Menjawab
pertanyaan ini bagaimana caranya agar kita dapat mengembangkan ilmu,
berkembanglah apa yang disebut metode esperimen yang merupakan jembatan antara
penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang
dilakukan secara empiris. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan secara terus
menerus ini akan menghasilkan sebuah metode ilmiah yakni prosedur dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan.
Untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah, setidaknya ada dua cara
berpikir yang dipakai untuk membangun sebuah ilmu pengetahuan, yakni;
a. Cara
Berpikir Deduktif
Metode deduktif
yaitu suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu sistim pernyataan yang runtut. Pada metode ini harus
memenuhi berapa persyaratan yakni adanya perbandingan logis antara
kesimpulan-kesimpulan, ada penyelidikan bentuk logis teori untuk melihat apakah
teori bersifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori yang
ada sebeumnya dan ada pengujian teori.
b. Cara
Berpikir Induktif
Metode induktif
yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
Epistemologi sebagai cabang filosofi yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang-orang mengetahuai apa yang mereka ketahui, maka dalam perkembangan komunikasi dan teori-teori komunikasi maka tidak akan pernah dapat terpisahkan dari permasalahan atau isu epistemologis. Menurut Stephen W. Littlejhon setidaknya ada lima masalah penting yang perlu dipertanyakan;
Pertama, pada tingakatan apa pengetahuan dapat muncul
sebelum pengalaman? Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa pengetahuan
berasal dari pengalaman yakni pengetahuan yang ada setelah kita mengamati
dunia. Namun disisi lain juga ada yang berpendapat bahwa ada sifat dasar yang
memberikan kita pengetahuan sebelum kita mengalaminya.
Kedua, pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi
sesuatu yang pasti? Hal merupakan perdebatan para filsuf selama ratusan
tahun, namun bagi mereka yang mengambil sebuah pendirian universal yang percaya
bahwa mereka mencari pengetahuan yang mutlak dan tidak berubah mereka akan
mengalami kesalahan dalam teori-teorinya, dan percaya bahwa kesalahan itu
hanyalah sebuah hasil dari belum ditemukannya kebenaran yang utuh. Sementara
pengnut paham relativitas mengatakan bahwa pengetahuan tidak akan menjadi
sesuatu yang mutlak karena kenyataan yang universal tidak pernah ada.
Ketiga, dengan proses apa sebuah pengetahuan muncul?
Pertanyaan ini merupakan pusat dari epistemologi. Setidaknya ada empat posisi
dalam hal ini yaitu; Rasionalisme
menyatakan bahwa pengetahuan muncul dari kekuatan pikiran manusia untuk
mengetahui kebenaran. Empirisme
menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam persepsi. Kita mengalami dunia dan
secara harafiah melihat apa yang terjadi. Konstruktivisme
percaya bahwa orang menciptakan pengetahuan agar dapat berjalan secara
pragmatis di dunia dan pengetahuan adalah apa yang telah dihasilkan oleh
seseorang dari dunia. Yang terakhir dan selangkah lebih maju dari
konstruktivismen adalah konstruktivisme
sosial mengajarkan bahwa pengetahuan merupakan produk interaksi simbolik
dalam keompok-kelompok sosial. Dengan kata lain, kenyataan terbentuk secara
sosial, sebuah hasil kehidupan kultural dan kelompok.
Keempat, apakah pengetahuan sebaiknya dipahami
sebagan atau keseluruhan? Dalam hal ini adalah cara memandang pengetahuan.
Ada yang memandang secara holistik simana ilmu tidak dapat dipisahkan karena berhubungan dan bekerja sebagai sistim
dan juga yang berpendapat bahwa pengetahuan merupakan pemahaman tentang
bagamans bagian-bagian bekerja secara terpisah.
Kelima, pada tingkatan apa pengetahuan menjadi
eksplisit? Dua cara memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang harus
ditetapkan atau dapat diartikulasikan secara eksplisit dan cara pandang lain
yang berpandangan bahwa banyak pengetahuan yang tersembuyi dalam alam bawah
sadar manusia.
3. Aksiologi
Aksiologi
merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan nilai kegunaan dari suatu
ilmu pengetahuan. Tentu saja keberadaan ilmu pengetahuan sangat memiliki
manfaat dalam kehidupan manusia. Melalui ilmu pengetahuan banyak ditemukan
teknologi-teknologi yang bisa membantu mempermudah pekerjaan manusia. Atau
dalam bidang kesehatan melalui ilmu pengetahuan banyak ditemukan obat-obat yang
bisa menyelamatkan umat manusia dari suatu penyakit tertentu. Begitu juga dalam
bidang ketahanan pangan ilmu pengetahuan telah membantu manusia dalam menemukan
bibit-bibit terbaik yang memberikan hasil maksimal untuk terpenuhinya kebutuhan
pangan umat manusia. Namun, pertanyaannya adalah apakah ilmu pengetahuan secara
serta merta berdampak yang baik-baik saja bagi kehidupan umat manusia?
Ternyata disisi
lain ilmu juga menimbulkan adanya ekses tertentu yang pada sifatnya merusak.
Oleh karena itu keberadaan ilmu pengetahuan juga dikaitkan dengan moral. Dalam
hal ini terdapat dua pendapat dalam menanggapi keilmuan dilihat dari sisi
moral; pertama pandangan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan
dan penggunaannya terserah. Apakah digunakan untuk hal-hal yang baik ataupun
dilakukan untuk hal-hal yang buruk. Artinya ilmu netral terhadap nilai-nilai,
baik secara ontologis maupun aksiologis. Pandangan kedua mengatakan bahwa ilmu
netral terhadap nilai hanya sebatas metafisik saja sedangkan dalam penggunannya
harus berlandaskan asas-asas moral.
Bagi ilmuwan di
bidang komunikasi, masalah-masalah aksiologis yang penting adalah dirauaikan
dalam tiga bentuk pertanyaan berikut:
Pertama, bisakah teori bebas dari nilai? Ilmu
pengetahuan klasik mengklaim bahwa teori dan penelitian bersifat bebas nilai,
netral dan berusaha menampilkan faakta apa adanya. Bila nilai yang dimiliki
ilmuwan turut serta dalam pekerjaan ilmiah yang ia lakukan, maka yang
dihasilkan adalah sains yang buruk. Namun demikian, terdapat pandangan lain
yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan secara substantif bisa bebas nilai,
namun secara teknis terdapat nilai-niai yang turut mempengaruhi perkembangan
suatu ilmu.
Kedua, apakah ilmuwan mempengaruhi penelitian yang dihasilkan? Mahzab tradisioal kembali menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa seorang ilmuwan seharusnya berhati-hati dalam melakukan suatu penelitian ilmiah sehingga aspek akurasi bisa dipertahankan. Kritik terhadap pandangan ini bersumber dari keniscayaan bahwa suatu penelitian pasti menghasilkan distorsi dari apa yang hendak diteliti. Distorsi tersebut kadang kala besar dan kadang kala kecil, namun yang pasti pasti akan ada distorsi dan karenanya teori pasti ada intervensi terhadap teori yang dihasilkan.
Ketiga, apakah ilmuwan mempengaruhi proses sosial? Pertanyaan ini sejalan dengan pertanyaan apakah ilmuwan harus tetap objektif ataukah harus berperan aktif membantu masyarakat untuk berubah secara positif? Banyak pakar mengatakan bahwa tugas ilmuwan adalah memproduksi ilmu pengetahuan, sedangkan urusan perubahan sosial diserahkan kepada pihak lain seperti politikus. Sedangkan pendapat lain berpendapat bahwa ilmuwan memiliki tanggungjawab untuk mempromosikan nilai-nilai positif dalam masyarakat. Dengan demikian ilmuwan tidak bebas nilai, tetapi sebaliknya sadar nilai (value conscius).
*Sebuah Resume
Referensi:
1. Bakhtiar,
Amsal. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta;
Rajawali Pers.
2. Littlejhon,
Stephen W. And Foss, Keren A. (2011). Teori
Komunikasi, Edisi 9. Jakarta; Salemba Humanika.
3. Mufid,
Muhamad. (2012). Etika dan Filsafat
Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
4. Suriasumantri, Jujun S. (2010). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan.
- Get link
- Other Apps
Comments
Post a Comment