Paradigma dan Perspektif*

Image
Oleh: Fikar Damai Setia Gea A.     Pengertian Paradigma Secara etimologis kata Paradigma bermula pada sejak abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari Bahasa Latin pada tahun 1943 yaitu paradigma   yang berarti suatu model atau pola. Sementara dalam Bahasa Yunani berasal dari kata paradeigma (para+deignunai) yang berarti untuk “membandingkan”, “bersebelahan” (para) dan “memperlihatkan” (deik). Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama khususnya dalam disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa pengertian paradigma menurut pada ahli adalah sebagai berikut: Pengertian paradigma menurut Patton (1975) : “A world view, a general perspective, a way of   breaking down of the complexity of the real world” (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata) . Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs (197

TIGA LANDASAN FILSAFAT ILMU DAN KAITANNYA DENGAN KOMUNIKASI*

Oleh: Fikar Damai Setia Gea

Tiga Landasan Filsafat Ilmu dan Komunikasi

1.      Ontologis

Menurut Jujun S. Suriasumantri, ontologis membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ‘Ada’. Hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah bahwa ilmu pengetahuan mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya.

Dalam hal memahami ontologis sebagai tafsiran tentang ada, setidaknya ada dua pandangan terkait dengan itu, antara lain:

a.       Monistik atau Monoisme

Pandangan monistik berpendapat bahwa hakikat asal dari seluruh kenyataan hanyalah satu, tidak ada perbedaan antara pikiran dan zat mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama.

Pandangan ini berawal dari pemikiran materialisme yang dikembangkan oleh Democritos (460-370 SM) yang mengatakan bahwa hanya atom dan kehampaan yang bersifat nyata. Materialisme merupakan salah satu wujud dari paham naturalisme yang sebelumnya membantah tentang paham supernaturlisme yang mengatakan bahwa  ada kekuatan gaib yang lebih berkuasa dalam alam nyata. Materialisme berpandangan bahwa gejala-gejala alam tidak berasal dari kekuatan-kekuatan gaib tetapi berasal dari kekuatan-kekuatan yang berasal dari alam itu sendiri.

Apa yang terjadi dan dirasakan dalam hidup ini ditangkap oleh panca indera dan disalurkan ke otak sehingga terjadi gejala-gejala alam. Manusia dalam menanggapi gejala-gejala alam ini ada yang menganggapi bahwa gejala alam hanyalah gejala kimia-fisika disebut mekanistik  dan ada pula yang menanggapi gejala alam sebagai sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dari sebuah proses yang dikenal sebagai kaum vitalistik.

b.      Dualistik atau Dualisme

Pendapat tentang monistik ini ditolak oleh penganut paham dualisme yang mengatakan bahwa ada perbedaan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substantif. Filsuf yang menganut paham dualisme ini adalah Rene Descartes (1596-1650), Jhon Locke (1632-1714) dan George Barkely (1685-1753).

Ketiga filsuf ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari pengalaman manusia adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikirlah maka sesuatu ada. Pernyataan Descartes yang terkenal adalah Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada).

Paham ini kemudian terkenal dengan paham rasionalisme, paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan menguji pengetahuan.

Dengan demikian ontologi merupakan pemikiran kita mengenai siapa yang mengetahui. Ontologi merupakan sebuah filosofi yang berhadapan dengan sifat makhluk hidup. Dalam ilmu sosial, ontologi sebagian besar berhadapan dengan sifat keberadaan manusia, sedangkan dalam komunikasi ontologi berpusat pada sifat interaksi sosial manusia.

Landasan filosofis ontologi dalam komunikasi menjadi sangat penting karena seorang pakar komunikasi akan mengonseptualiskan komunikasi tergantung bagaimana ia melihat hakikat komunikasi. Menurut Stephen W. Littlejhon setidaknya ada empat masalah penting yang perlu dipertanyakan;

Pertama, pada tingkatan apa manusia membuat pilihan-pilihan yang nyata? Dalam   hal ini ada tiga kaum yang memiliki cara pandang yang berbeda tentang apakah ada pilihan yang nyata. Disatu sisi ada kaum determinis yang menyatakan bahwa perilaku disebabkan oleh banyak kondisi sebelumnya yang sebagian besar menentukan perilaku manusia. Disisi yang lainnya lagi ada kaum pragmatis yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang aktif yang merencanakan perilakunya untuk mencapai tujuan masa depan. Lalu ada yang berada pada posisi tengah yang menyatakan bahwa orang-orang membuat pilihan dalam jangkauan yang terbatas atau bahwa beberapa perilaku telah ditentukan, sedangkan perilaku yang lain dilakukan dengan bebas.

Kedua, apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat? Dalam hal ini ada dua dimensi utama yaitu antara keadaan dan sifat. Pandangan keadaan  menyatakan bahwa manusia bersifat dinamis dan mengalami banyak keadaan dalam satu hari, satu tahun dan seumur hidup. Pandangan sifat menyatakan bahwa manusia sebagian besar dapat diperkirakan karena manusia menunjukkan karakteristik yang kurang lebih konsisten sepanjang waktu. Da ditengah-tengah itu ada yang berpendapat bahwa baik keadaan mamupun sifat dapat mengarakterisasi perilaku manusia.

Ketiga, apakah pengalaman manusia semata-mata individual atau sosial? Pertanyaan ontologis ini sangat penting karena berhubungan dengan fokus dalam memahami interaksi manusia. Walaupun manusia adalah makhluk sosial namun penting juga untuk melihat interaksinya secara individu terkait dengan jiwa manusia dan seterusnya bagaimana interaksi manusia dalam sebuah kelompok dan kebudayaan.

Keempat, pada tingkatan mana komunikasi akan kontekstual? Fokus pertanyaan ini adalah apakah perilaku diatur oleh prinsip-prinsip universal atau apakah hal ini bergantung pada faktor-faktor universal.

 

2.      Epistemologis

Epistemologis adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Bermula dari sikap skeptis dimana para sophis bertanya, seberapa jauh pemikiran kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif, seberapa jauh pula merupakan subjektif manusia? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai kodrat sebagaimana adanya?

Menjawab pertanyaan ini bagaimana caranya agar kita dapat mengembangkan ilmu, berkembanglah apa yang disebut metode esperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan secara terus menerus ini akan menghasilkan sebuah metode ilmiah yakni prosedur dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.

Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah, setidaknya ada dua cara berpikir yang dipakai untuk membangun sebuah ilmu pengetahuan, yakni;

a.       Cara Berpikir Deduktif

Metode deduktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistim pernyataan yang runtut. Pada metode ini harus memenuhi berapa persyaratan yakni adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan, ada penyelidikan bentuk logis teori untuk melihat apakah teori bersifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori yang ada sebeumnya dan ada pengujian teori.

b.      Cara Berpikir Induktif

Metode induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.

 Epistemologi sebagai cabang filosofi yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang-orang mengetahuai apa yang mereka ketahui, maka dalam perkembangan komunikasi dan teori-teori komunikasi maka tidak akan pernah dapat terpisahkan dari permasalahan atau isu epistemologis. Menurut Stephen W. Littlejhon setidaknya ada lima masalah penting yang perlu dipertanyakan;

Pertama, pada tingakatan apa pengetahuan dapat muncul sebelum pengalaman? Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman yakni pengetahuan yang ada setelah kita mengamati dunia. Namun disisi lain juga ada yang berpendapat bahwa ada sifat dasar yang memberikan kita pengetahuan sebelum kita mengalaminya.

Kedua, pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi sesuatu yang pasti? Hal merupakan perdebatan para filsuf selama ratusan tahun, namun bagi mereka yang mengambil sebuah pendirian universal yang percaya bahwa mereka mencari pengetahuan yang mutlak dan tidak berubah mereka akan mengalami kesalahan dalam teori-teorinya, dan percaya bahwa kesalahan itu hanyalah sebuah hasil dari belum ditemukannya kebenaran yang utuh. Sementara pengnut paham relativitas mengatakan bahwa pengetahuan tidak akan menjadi sesuatu yang mutlak karena kenyataan yang universal tidak pernah ada.

Ketiga, dengan proses apa sebuah pengetahuan muncul? Pertanyaan ini merupakan pusat dari epistemologi. Setidaknya ada empat posisi dalam hal ini yaitu; Rasionalisme menyatakan bahwa pengetahuan muncul dari kekuatan pikiran manusia untuk mengetahui kebenaran. Empirisme menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam persepsi. Kita mengalami dunia dan secara harafiah melihat apa yang terjadi. Konstruktivisme percaya bahwa orang menciptakan pengetahuan agar dapat berjalan secara pragmatis di dunia dan pengetahuan adalah apa yang telah dihasilkan oleh seseorang dari dunia. Yang terakhir dan selangkah lebih maju dari konstruktivismen adalah konstruktivisme sosial mengajarkan bahwa pengetahuan merupakan produk interaksi simbolik dalam keompok-kelompok sosial. Dengan kata lain, kenyataan terbentuk secara sosial, sebuah hasil kehidupan kultural dan kelompok.

Keempat, apakah pengetahuan sebaiknya dipahami sebagan atau keseluruhan? Dalam hal ini adalah cara memandang pengetahuan. Ada yang memandang secara holistik simana ilmu tidak dapat dipisahkan  karena berhubungan dan bekerja sebagai sistim dan juga yang berpendapat bahwa pengetahuan merupakan pemahaman tentang bagamans bagian-bagian bekerja secara terpisah.

Kelima, pada tingkatan apa pengetahuan menjadi eksplisit? Dua cara memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang harus ditetapkan atau dapat diartikulasikan secara eksplisit dan cara pandang lain yang berpandangan bahwa banyak pengetahuan yang tersembuyi dalam alam bawah sadar manusia.


3.      Aksiologi

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan nilai kegunaan dari suatu ilmu pengetahuan. Tentu saja keberadaan ilmu pengetahuan sangat memiliki manfaat dalam kehidupan manusia. Melalui ilmu pengetahuan banyak ditemukan teknologi-teknologi yang bisa membantu mempermudah pekerjaan manusia. Atau dalam bidang kesehatan melalui ilmu pengetahuan banyak ditemukan obat-obat yang bisa menyelamatkan umat manusia dari suatu penyakit tertentu. Begitu juga dalam bidang ketahanan pangan ilmu pengetahuan telah membantu manusia dalam menemukan bibit-bibit terbaik yang memberikan hasil maksimal untuk terpenuhinya kebutuhan pangan umat manusia. Namun, pertanyaannya adalah apakah ilmu pengetahuan secara serta merta berdampak yang baik-baik saja bagi kehidupan umat manusia?

Ternyata disisi lain ilmu juga menimbulkan adanya ekses tertentu yang pada sifatnya merusak. Oleh karena itu keberadaan ilmu pengetahuan juga dikaitkan dengan moral. Dalam hal ini terdapat dua pendapat dalam menanggapi keilmuan dilihat dari sisi moral; pertama pandangan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan dan penggunaannya terserah. Apakah digunakan untuk hal-hal yang baik ataupun dilakukan untuk hal-hal yang buruk. Artinya ilmu netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Pandangan kedua mengatakan bahwa ilmu netral terhadap nilai hanya sebatas metafisik saja sedangkan dalam penggunannya harus berlandaskan asas-asas moral.

Bagi ilmuwan di bidang komunikasi, masalah-masalah aksiologis yang penting adalah dirauaikan dalam tiga bentuk pertanyaan berikut:

Pertama, bisakah teori bebas dari nilai? Ilmu pengetahuan klasik mengklaim bahwa teori dan penelitian bersifat bebas nilai, netral dan berusaha menampilkan faakta apa adanya. Bila nilai yang dimiliki ilmuwan turut serta dalam pekerjaan ilmiah yang ia lakukan, maka yang dihasilkan adalah sains yang buruk. Namun demikian, terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan secara substantif bisa bebas nilai, namun secara teknis terdapat nilai-niai yang turut mempengaruhi perkembangan suatu ilmu.

Kedua, apakah ilmuwan mempengaruhi penelitian yang dihasilkan? Mahzab tradisioal kembali menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa seorang ilmuwan seharusnya berhati-hati dalam melakukan suatu penelitian ilmiah sehingga aspek akurasi bisa dipertahankan. Kritik terhadap pandangan ini bersumber dari keniscayaan bahwa suatu penelitian pasti menghasilkan distorsi dari apa yang hendak diteliti. Distorsi tersebut kadang kala besar dan kadang kala kecil, namun yang pasti pasti akan ada distorsi dan karenanya teori pasti ada intervensi terhadap teori yang dihasilkan.

Ketiga, apakah ilmuwan mempengaruhi proses sosial? Pertanyaan ini sejalan dengan pertanyaan apakah ilmuwan harus tetap objektif ataukah harus berperan aktif membantu masyarakat untuk berubah secara positif? Banyak pakar mengatakan bahwa tugas ilmuwan adalah memproduksi ilmu pengetahuan, sedangkan urusan perubahan sosial diserahkan kepada pihak lain seperti politikus. Sedangkan pendapat lain berpendapat bahwa ilmuwan memiliki tanggungjawab untuk mempromosikan nilai-nilai positif dalam masyarakat. Dengan demikian ilmuwan tidak bebas nilai, tetapi sebaliknya sadar nilai (value conscius).


*Sebuah Resume


Referensi:

1.      Bakhtiar, Amsal. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta; Rajawali Pers.

2.     Littlejhon, Stephen W. And Foss, Keren A. (2011). Teori Komunikasi, Edisi 9. Jakarta; Salemba Humanika.

3.   Mufid, Muhamad. (2012). Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

4.     Suriasumantri, Jujun S. (2010). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan.



Comments

Popular posts from this blog

KENDALA DAN HAMBATAN SERTA SOLUSI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN*

E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK KEPENTINGAN*

PELET JEPANG!

CORPORATE BRANDING AND CORPORATE REPUTATION

KOMUNIKASI HUMANIS*