Oleh: Fikar Damai Setia Gea**
1. PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Akhir-akhir ini
perkembangan komunikasi di Indonesia utamanya perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi baik melalui media televisi maupun media baru internet mengalami
perkembangan dan perubahan yang sangat siginifikan. Namun perubahan itu tidak serta merta adalah
sesuatu yang positif. Justru sangat jamak kita temukan pemberitaan-pemberitaan
negatif yang mendominasi ruang publikasi dan menjadi konsumsi masyarakat. Keterbatasan
pilihan akan sumber-sumber informasi pun membuat masyarakat tidak berdaya dan
dengan terpaksa menjadi korban penderita akibat terpaan media yang sangat sulit
untuk dibendung.
Sejak bangun pagi
hingga menjelang tidur, berita dan tayangan televisi tentang korupsi, pembunuhan, penculikan, kasus suap,
kecelakaan dan berita negatif lainnya, membombardir ruang-ruang privasi kita. Fenomena
tayangan atau berita negatif itu cukup fantastis. Arry Rahmawan (dalam Widodo,
2012:1) mencatat, perbandingan berita positif dan negatif yang ditayangkan
stasiun televise di Indonesia rata-rata 1:11. Satu untuk berita positif dan 11
untuk berita negatif.
Sebagian besar
koran pun sering menampilkan headline sensasional dan mengerikan. Sajian atau tayangan media nefatif cenderung
menyebarkan pesimisme, menguatkan ketidakpastian, dan menurunkan rasa percaya
diri. Orang pun merindukan berita atau cerita yang positif dan mencerahkan.
Ada dua faktor
yang mempengaruhi dan menguatkan hal ini. Pertama, faktor internal media, dalam hal ini pengaruh yang kuat dari
seluruh struktur praktik jurnalisme, mulai dari ideologi media, editor, sampai
wartawan. Ada asumsi di dunia jurnalisme, berita jika tidak ‘berdarah’, tak
dibaca orang. Seperti frase ’If it bleeds, it leads.’ Jika pesawat mendarat mulus, bukan berita; jika sebaliknya, baru
berita. ‘Bad news
is good news. No news is good news!’ Bagi wartawan, berita-berita semacam itu paling mudah untuk dicari
dan ditulis. Tak perlu susah, tak perlu rumit!
Newsroom media juga mengenal istilah layak berita (news worthy) dan nilai berita (news value), yakni kriteria yang membuat sebuah peristiwa
menarik untuk diberitakan. Intinya, semakin besar kesenjangan atau devisi
situasi normal, maka semakin tinggi kelayakan berita. Ada adagium yang sering
kita dengar di jurnalisme: "If
a dog bites a man, that's not news”; “If a man bites a dog, that's news!".
Sejumlah studi
menegaskan bahwa pemberitaan negatif berpengaruh buruk terhadap audience.
Menurut pakar psikologi komunikasi Jalaludin Rakhmat (dalam Burhani, 2012:3),
pemberitaan negatif berpotensi menyebabkan gangguan jiwa terhadap masyarakat,
meskipun dalam skala yang lebih kecil dari kegilaan. Walaupun tidak selamanya
berita negatif itu buruk, namun tetap saja bahwa berita-berita yang ditayangkan
terus menerus negatif mengakibatkan munculnya pesimisme dalam masyarakat.
Kondisi
pemberitaan yang seperti itu akhir-akhir ini menimbulkan adanya kekhawatiran
bagi masyarakat. Akibatnya adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan yang
mempersoalkan kembali kemanakah arah perkembangan teknologi dan komunikasi di
Indonesia? Sudah saatnya media dan konsumen media harus bersinergi menangkal
arus berita negatif. Media perlu mengubah paradigma dan mengembangkan konsep
jurnalisme positif atau jurnalisme optimis. Betul bahwa ada adagium ‘bad news definitely sells’. Hal ini tak bisa ditolak atau dipungkiri,
bahwa selalu ada pasar untuk berita negatif. Berita negatif selalu lebih
dramatis dan menarik. Namun, saya yakin jika masyarakat diberi pilihan, mereka
akan lebih memilih ‘good
news’ sehingga ‘good news sells too’. ‘No news is better than bad news.’
Memberi pilihan
kepada masyarakat untuk dapat memiliki paradigma baru terhadap perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi tidak bisa terjadi hanya dengan pemahaman
yang dangkal. Sebuah paradigma hanya bisa berubah jika ada pemahaman mendasar,
mendalam dan total terhadap apa sebenarnya tujuan komunikasi itu ada. Oleh
karena itu diperlukan satu pemikiran filsafati bahwa komunikasi ada untuk
tujuan yang baik yaitu untuk memanusiakan manusia atau dengan kata lain
komunikasi ada untuk kemaslahatan umat manusia.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka beberapa rumusan masalah yang
diangkat dalam penulisan makalah ini adalah:
- Adanya pergeseran nilai filosofis terhadap tujuan
komunikasi yang kini telah telah mengarah kepada pemuasan hegemoni sesaat
masyarakat.
- Rendahnya pemahaman masyarakat dalam menerima
berbagai informasi yang disampaikan oleh media karena menerima informasi
mentah-mentah tanpa ada konsep filosofis apakah berita itu dibuthkan atau
tidak.
C. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan secara filosofis tujuan komunikasi
untuk kemaslahatan umat manusia.
2. Mengubah paradigma masyarakat kearah pemikiran
baru bahwa informasi yang dikonsumsi adalah hanya informasi yang memang menjadi
kebutuhan kita.
D. MANFAAT
Manfaat penulisan makalah ini adalah: memberikan masukan kepada pelaku
media dan juga masyarakat konsumen berbagai pemberitaan melalui teknologi
informasi dan komunikasi agar memperhatikan nilai-nilai kebaikan, optimisme,
moralitas dan kemanusiaan dalam memberitakan sesuatu.
2.
KOMUNIKASI UNTUK
KEMASLAHATAN UMAT MANUSIA
A. PENGERTIAN
KOMUNIKASI
Komunikasi
itu adalah Omni Present artinya
selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Oleh karenanya dalam perkembangan
dunia dewasa ini komunikasi menjadi bagian yang sangat penting. Baik dalam
dunia kesehatan, pertanian, hukum, perencanaan dan pembangunan, politik,
hubungan internasional, organisasi atau kelembagaan, bahkan dunia teknologi informasi
yang berkaitan langsung dengan komunikasi sangat erat dengan komunikasi itu
sendiri.
Keberadaan
komunikasi yang sangat penting itu, maka juga perlu untuk mengetahui secara
mendalam bagaimana perkembangan komunikasi menjadi salah satu cabang ilmu pengetahun?
Bagaimana ilmu komunikasi menjadi satu bidang ilmu yang multidisipliner?
Komunikasi
adalah salah satu bidang ilmu yang sangat digandrungi oleh para pakar dari
bidang lainnya. Sehingga definisi-definisi komunikasi pun sangat banyak
ditinjau dari perspektif masing-masing pakar. Namun demikian yang menjadi hal
pokok juga ialah bagaimana komunikasi dan umumnya teori komunikasi menjadi satu
landasan filosofi sehingga komunikasi benar-benar dipahami secara fundamental,
metodologis, sistematis, analitis, kritis dan holistik.
Secara
etimologis istilah komunikasi atau yang dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin yakni communicatio dan bersumber pula dari
kata communis yang berarti sama makna
(Cangara, 2008:20). Jadi, ketika dua orang terlibat dalam satu percakapan maka
selama ada kesamaan makna di antara keduanya maka mereka telah melakukan satu
proses komunikasi.
Komunikasi
sangat erat kaitannya dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Sehingga berbagai
disiplin ilmu dimaksud telah memberikan banyak kontribusi dalam perkembangan
ilmu komunikasi seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu
manajemen, linguistik dan lain sebagainya. Oleh karena itu, definisi komunikasi
yang ada saat ini sangat kompleks karena definisi komunikasi diberikan oleh
berbagai pakar dengan perspektif yang berbeda-beda.
Menurut Carl I. Hovland (dalam Cangara,
2008:19) pakar psikologi dari Amerika Serikat, komunikasi adalah: Upaya sistematis untuk merumuskan secara
tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.
Definisi Hovland ini menunjukkan bahwa objek studi ilmu komunikasi tidak hanya
sekedar penyampaian informasi melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan
sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang sangat penting.
Harold D. Laswel (dalam Cangara, 2008:21) pakar ilmu politik
mendefinisikan komunikasi sebagai: siapa
yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan
apa pengaruhnya? (Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?). Paradigma
Laswel ini menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban
dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:
Ø Komunikator
(Communicator, Source, Sender)
Ø Pesan
(Message)
Ø Media
(Channel, media)
Ø Komunikan
(communicant, receiver, recipient)
Ø Efek (effect, impact, influence)
Jadi, berdasarkan pradigma Laswell di atas komunikasi
adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media
yang menimbulkan efek tertentu.
Everett M. Rogers (dalam Cangara, 2008:22) seorang pakar Sosiologi
Amerika Serikat mendefinisikan komunikasi sebagai: proses dimana satu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau
lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D.
Lawrence Kincaid (dalam Cangara,
2008:22) sehingga
melahirkan definisi baru yakni: Komunikasi
adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan
pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba
pada saling pengertian yang mendalam.
Sebuah
definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri
pada studi komunikasi antar manusia (human
communicaton) menyebutkan bahwa komunikasi
adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur
lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar sesama manusia (2) melalui
pertukaran informasi (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain;
serta (4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.
Setelah mempelajari beberapa definisi komunikasi oleh
para ahli di dan juga definisi komunikasi menurut kelompok sarjana komunikasi
(antar manusia) saya berpandangan bahwa komunikasi sesungguhnya tidak dapat
dibatasi hanya sebatas menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan.
Hal ini disebabkan oleh karena komunikasi pada dasarnya multidisipliner yang
dapat masuk atau dapat dimanfaatkan ke berbagai disiplin ilmu bahkan kedalam
berbagai bidang kehidupan sosial. Maka atas dasar itu, saya menyimpulkan bahwa
komunikasi adalah: sebuah transaksi nilai di dalam kehidupan masyarakat yang
dilakukan untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama, membentuk sikap
dan mengubah paradigma untuk tujuan-tujuan kebaikan dan kemaslahatan umat
manusia.
Berdasarkan
catatan Dance dan Larson bahwa sampai pada tahun 1976 telah ada 126 definisi
komunikasi. Definisi ini merupakan definisi dari berbagai pakar bidang keilmuan
dengan perspektif masing-masing sesuai dengan kajian ilmu yang dibidanginya
B. ANALISIS
FILOSOFIS KOMUNIKASI
Memahami pengertian teori dan teori komunikasi, berikut ini
adalah kajian pemikiran pakar komunikasi Wilbur Schramm dalam bukunya Introduction to Mass Communication Reserch (dalam Efendy, 2003:318) mendefinisikan teori sebagai: “Suatu
perangkat pernyataan yang saling berkaitan, pada abstraksi dengan kadar yang
tinggi, dan dari padanya proposisi bisa dihasilkan yang dapat diuji secara
ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan prediksi mengenai perilaku.”
Dari definisi di atas jelas bahwa teori adalah hasil telaah
dengan metode ilmiah. Alexis S. Than dalam bukunya Mass Communication Theory and Research (dalam Efendy, 2003:321) mengungkapkan bahwa yang
dimaksud dengan metode ilmiah adalah metode penyelidikan atau metode pemapanan
kebenaran yang menunjukkan ciri-ciri, sebagai berikut:
1)
Objektifitas
Metode
ilmiah mencari fakta dengan menganalisis informasi dari dunia nyata. Fakta
dipilih bukan karena keinginan tetapi
karena dapat diuji secara berulang-ulang.
Objektifitas
dapat dicapai paling tidak dengan dua cara:
a)
Empirisme,
mensyaratkan suatu kepercayaan atau proposisi harus diuji dalam dunia nyata
yaitu dunia yang daat diindera (dilihat, dirasa, diraba) dan dapat dialami.
b)
Logika
Formal, mengkaji kondisi-kondisi dimana kepercayaan atau proposisi perlu
mengikutinya dan karenanya dapat ditarik kesimpulan dan proposisi-proposisi
lainnya.
Namun, pertanyaannya adalah apakah ilmu itu benar-benar
objektif? Selama berabad-abad para ilmuwan didoktrin bahwa ilmu itu adalah
objektif. Hal ini didukung dengan bantuan media utamanya media cetak sejak
sosiologi modern oleh August Comte dirintis. Ada pandangan bahwa sains
objektif, universal dan bebas nilai, tidak boleh diwarnai oleh nilai, budaya
dan agama apapun berkembang sejak zaman Renaisans sampai tahun 1960-an. Marcelo
Pera (dalam Agus, 2013:132) mengatakan bahwa Founding Father sains telah terlanjur menekankan bahwa sains tidak
kontroversial, ilmu objektif dan universal. Namun, kita anak-anaknya telah
kehilangan kepercayaan terhadap apa yang mereka katakan sins of the fathers and regreats of the sons, dosa bapak pendahulu
kita dan penyesalan kita anak-anak mereka.
Thomas Khun (dalam Agus, 2013:133) mengatakan bahwa
pandangan sains yang objektif dan universal itu masih didukung oleh paradigma
yang dominan dan dilawan oleh yang berparadigma lain. Dengan demikian,
paradigma dapat dipahami sebagai suatu tatanan nilai atau konsep yang menjadi
dasar atau patron atau menjadi sebuah titik pangkal bertolaknya pandangan seseorang
dalam memahami atau menguraikan realitas yang dialaminya.
Paradigma menjadi
landasan yang sifatnya umum yang kepadanya berasal penjabaran-penjabaran atau
bagaimana seseorang menguraikan sebuah realitas. Sehingga dari situ dapat
menunjukkan siapa diri seseorang dari cara dia memandang sesuatu yang membentuk
citra subjektif terhadap dirinya. Ibarat seorang ilmuwan maka citra dirinya
yang menunjukkan bahwa dia adalah ilmuwan dalam bidang tertentu adalah dari
paradigma yang mendasari cara berpikirnya. Sehingga, sebuah konsep dalam dunia
ilmiah dapat dinterpretasikan dengan paradigmanya sendiri oleh komunitas ilmiah
lainnya.
William A. Drees dalam bukunya Religion and Science in Context (dalam Agus, 2013:135) juga
membantah pendapat bahwa sains adalah impersonal dan objektif dari segi sejarah
sains. Dalam pemikiran Wiliam ini menjelaskan bahwa arah pengembangan sains
justru semakin mempersempit diri hanya fokus kepada saintisme sebagai otoritas. Ilmu
pengetahuan tidak memberikan kepastian, tidak memberikan pengetahuan yang
objektif dan universal.
Terhadap ilmu pengetahuan atau sains yang bebas nilai (value free) juga mendapat bantahan dari
Roy A. Clauser dalam bukunya The Myth of
Religious Neutrality. An Essay on the Hidden Role of Religious Belief in Theories
(dalam Agus, 2013:135). Clauser berpendapat bahwa ilmu yang bebas nilai
adalah kemustahilan karena ada satu kepercayaan yang paling kuat dan paling
mempengaruhi seseorang yaitu agama. Dengan demikian setiap orang dalam
kehidupannya akan terpengaruh oleh pengalaman hidup dan juga nilai-nilai agama
yang dianut dan dipercayainya.
Atas dasar pemikiran para ilmuwan tersebut di atas maka
saya berpendapat bahwa untuk era modern dan digital sekarang ini, pandangan
bahwa ilmu pengetahuan atau sains itu objektif dan universal tidak dapat
dijadikan acuan atau dasar otoritas lagi. Karena seseorang dalam memahami
sebuah konsep ilmiah sesederhana apapun akan sangat dipengaruhi oleh
paradigmanya dan terlebih daripada itu adalah bahwa ada nilai kepercayaan
(agama) yang dianut dan dipercayainya yang sangat berpengaruh yang telah
mengisi setiap pengalaman perjalanan
kehidupannya.
2)
Berorientasikan
masalah
Metode
ilmiah dapat dimulai hanya kalau seorang peneliti mengakui adanya masalah, baik
yang praktis maupun yang teoritis yang memerlukan keputusan.
3)
Dipandu
hipotesis
Metode
olmiah dipandu oleh hiptesis yaitu sebuah keterangan atau keputusan yang
diajukan kepada masalah untuk memulai penelitian. Hipotesis biasanya dimulai
dengan ungkapan atau pernyataan Jika......., Maka........
4)
Berorientasikan
teori
Tujuan
jangka pendek metode ilmiah adalah untuk menemukan fakta-fakta secara ilmiah
yang dapat memecahkan suatu asalah, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah merumuskan teori.
Teori
adalah seperangkat dalil atau prinsip umum yang kait mengkait (hipotesis yang
diuji berulang-ulang) mengenai aspek-aspek suatu realitas. Fungsi teori adalah
menerangkan, meramalkan dan menemukan keterpautan fakta-fakta secara
sistematis.
5)
Korektif
mandiri
Teori
itu sifatnya dinamis. Tidak ada dalil yang final atau bebas dari pertanyaan.
Sifat korektif mandiri dari ilmu menyebabkan perlu bagi ilmuwan untuk meberikan
keleluasaan kepada ilmuwan lain dalam bidang yang sama untuk meneliti secara
mendalam.
Lebih jauh lagi dalam memahami teori, perlu untuk melihat
sisi komitmen-komitmen filosofis berdasarkan metateori. Metateori ialah sebuah
peristalahan bagaimana sebuah teori muncul atau juga sering disebut dengan
teori tentang teori. Sebagaimana ilmu (Littlejhon, 2008: 22-27) secara
filosofis muncul dilihat dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, maka
teori juga demikian.
a.
Ontologi (Hakikat Realitas)
Studi ontologi dengan filsafat meliputi
penyelidikan-penyelidikan menuju hakikat keberadaan. Dalam diskusi-diskusi
dengan penelitian sosial, pertanyaan-pertanyaan dari ontologi meliputi isu-isu
seperti “Apa hakikat dari realitas?” dan “Apa hakikat dari hal yang dapat
diketahui?” Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan dari ontologi mencari
hakikat dari fenomena yang kita cari dalam ilmu pengetahuan kita- apa yang kita
teorikan.
Sebuah isu metateoritis sentral adalah
satu pendirian ontologi diambil dengan memperhatikan dunia sosial. Sebuah
ontologi teoris sosial bisa menjadi realistis dengan memposisikan sebuah
realitas yang sukar dan solid dari objek-objek ilmu alam dan sosial. Atau
sebuah pendirian teoris bisa menjadi nominalist dalam mengusulkan bahwa
realitas entitas sosial hanya dalam nama dan label yang kita sediakan untuk
mereka. Atau sebuah pendirian teoris bisa menjadi konstruksi sosial dalam
menekankan jalan-jalan/cara-cara dalam pengertian-pengertian/arti-arti sosial
diciptakan melalui interaksi historis dan kontemporer dan tata cara dalam pengkonstruksian sosial memungkinkan dan
memaksa kelakuan kita yang selanjutnya.
Konstruksi
sosial yang membentuk sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sosial
sering melupakan nilai-nilai teologis, karena dalam perkembangannya sains
sering tidak melibatkan nilai-nilai teologis dan begitu juga sebaliknya. Ada
kesan bahwa keduanya ini saling bertolak belakang dan tidak bisa dipertemukan
satu dengan yang lainnya. Agus (2015) menyetir pemikiran Mircea Eliade bahwa
ada ruang kemanusiaan yang mampu menghadirkan dunia dan menemukan kebenaran secara
imajinatif melalui riwayat sakral (sacred narratives). Yang dalam istilah Carl Jung
(Agus:2015) psikolog Swiss menyebutnya sebagai archetypes, yaitu bentuk-bentuk fundamental yang tertancap dalam
kesadaran manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan menyampaikan
kebenaran esensial (essential truths).
Adam
Frank dalam bukunya The Constant Fire (Agus:2015)
mengungkapkan bahwa dalam pengalaman spiritual mengandung sesuatu
kebenaran yang perlu ditelusuri.
Kebenaran lebih dari sekedar gejala kimiawi otak yang menjadi perhatian
neurologi selama ini. Salah satu bentuk dalam usaha manusia mencari kebenaran
atau pengetahuan adalah melalui wahyu (Suriasumantri, 2010:44). Dalam hal ini
ialah sebuah kebenaran atau pengetahuan didapatkan bukan karena usaha aktif
manusia melainkan karena pemberian atau ditawarkan kepada seseorang. Pemberian
kebenaran dilakukan melalui pewahyuan yang diberikan oleh Tuhan lewat para nabi
yang kemudian dipercaya atau tidak dipercaya
berdasarkan masing-masing keyakinannya.
Keyakinan
yang didapatkan melalui pewahyuan ini dalam perkembangan peradaban manusia
menjadikannya sebagai agama. Oleh karena itu agama menjadi penting dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Malefitj (dalam Agus:2015) mengatakan bahwa
agama adalah petunjuk yang dipercayai berasal dari Tuhan Pencipta alam dam manusia
Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
b.
Epistemologi (Hakikat Pengetahuan)
Studi epistomologi dengan filsafat meliputi
pertanyaan-pertanyaan tentang penciptaan dan pertumbuhan dari pengetahuan.
Fondasi-fondasi epistomologis meliputi sebuah ide teoris tentang apa
pengetahuan dan bagaimana pengetahuan dapat disusun dalam dunia sosial. Menurut
objektivis, pengetahuan harus terdiri dari pernyataan kausal tentang dunia
sosial dan harus dihasilkan melalui usaha dari sebuah komunitas ilmuwan
menggunakan metode-metode ilmiah yang ditetapkan. Sedangkan menurut
subjektivis, pengetahuan disituasikan dengan keadaan lokal dan dengan demikian
harus diperoleh melalui pengalaman atau melalui interaksi yang dikembangkan
dengan orang-orang yang mengerti.
c.
Aksiologi (Peran Nilai)
Ada tiga posisi pada aksiologi:
Pertama,
nilai-nilai mempunyai peran dalam penelitian, tetapi peran tersebut dipaksa
dalam istilah ketika nilai-nilai dari bermacam-macam jenis mempengaruhi ilmu pengetahuan.
Kedua,
itu tidak mungkin untuk menghilangkan pengaruh nilai-nilai dari sesuatu bagian
usaha penelitian. Tentu saja nilai tidak
boleh dipisahkan atau bebas nilai terhadap ilmu pengetahuan ilmiah atau sains.
Dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan nilai setidaknya memiliki
tiga fungsi mendasar yang membawa sebuah ilmu pengetahuan itu pada derajat yang
lebih tinggi dalam kehidupan manusia. Fungsi pertama adalah untuk memajukan
kehidupan yang bertujuan agar manusia tidak berhenti pada taraf mencukupkan
kebutuhan hidup pada taraf minimal subsistem (Agus, 2013:294). Sebuah ilmu
pengetahuan dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi yang lebih luas untuk kemaslahatan
umat manusia. Berbagai alat diciptakan untuk tujuan membantu dan menolong
manusia mempermudah dan mempercepat segala sesuatu yang dikerjakannya.
Fungsi
nilai yang kedua adalah mengontrol dan meramalkan sesuatu (Agus, 2013:295).
Disamping merekayasa ilmu pengetahuan, fungsi untuk meramalkan atau prediksi
dini juga penting dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Penerapan teori-teori alam sangat berguna dalam memprediksi kecenderungan akan
adanya angin puting beliung, tsunami, gempat, gunung meletus dan bencana
lainnya. Begitu juga dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan penting
untuk memprediksi apa dampak yang akan terjadi ke depan baik dilihat dari sisi
ekonomi maupun dalam kehidupan sosial. Lagi-lagi dalam hal ini diharapkan nilai
mendasar sangat berperan dalam sains untuk kemaslahatan umat manusia.
Fungsi
nilai yang ketiga adalah fungsi kontrol (Agus, 2013:297). Ilmu pengetahuan juga
berperan dalam melakukan kontrol. Sebuah hasil ciptaan pasti ada pengaruhnya
terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya. Jika sudah tahu apa penyebab banjir
mka sebuah kontrol dilakukan dengan tidak membabat hutan dan tidak membuag
sampah ke sungai.
Jika
sebuah ilmu dikembangkan oleh seorang ilmuwan, apakah hasil temuannya itu
dibiarkan saja dan terserah kemana saja digunakan? Dalam hal inilah dibutuhkan
sebuah tanggungjawab moral atas sebuah temuan-temuan ilmiah oleh ilmuwan itu
sendiri maupun juga kepada pengguna dari temuan iliah itu. Karena jika tidak
sebuah hasil penemuan ilmiah akan dengan mudah dimanfaatkan oleh penguasa atau
pemegang kendali kebijakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu tanpa
diketahui apakah itu untuk kebaikan atau untuk keburukan. Maka dalam hal ini
perlu satu pemahaman yang sangat mendasar bahwa sebuah penemuan ilmu
pengetahuan kiranya dapat dipergunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Dalam
pandangan agama sebagai sebuah nilai yang terpadu dan komprehensif (kaffah dan
tauhidy), sebuah penemuan ilmu pengetahuan harus diarahkan untuk tujuan
kebaikan yang rahmatan
lil’amin.
Ketiga, nilai-nilai tidak hanya
membimbing/memimpin pilihan-pilihan topik-topik penelitian dan mempengaruhi
praktek penelitian tapi juga bahwa ilmu pengetahuan melibatkan partisipasi
aktif dalam pergerakan perubahan sosial.
Dengan demikian teori menjadi berfungsi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan empiris, konseptual, dan praktis, dan kualitas dari teori
dapat dinilai - dalam sebuah pengertian
sangat umum - dalam perkataan jawaban-jawaban yang disediakan untuk
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
C. PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI
McLuhan (dalam Saefuddin, 2008: 383) melihat
media sebagai hal utama yang menentukan atau mempengaruhi hal lainnya.
Pemikiran ini berusaha menjelaskan bagaimana teknologi, terutama perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi, menentukan bagaimana individu dalam
masyarakat memikirkan sesuatu, merasakan sesuatu dan melakukan tindakan
tertentu.
Dasar pemikirannya adalah perubahan-perubahan cara manusia untuk
berkomunikasi membentuk keberadaan kita. Secara falsafah hal ini mengarahkan
bagaimana seseorang mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, bermakna dan bermanfaat. Untuk memahami
pernyataan itu, ada tiga kerangka urutan pemikiran, yaitu:
1.
Penemuan-penemuan
hal baru dalam bidang teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya.
2.
Perubahan
komunikasi manusia membentuk eksistensi kehidupan manusia.
3.
Kita
membentuk alat-alat yang kita perlukan dan sekarang giliran-alat itu yang
membentuk diri kita.
McLuhan menyatakan bahwa media merupakan inti dari perdaban manusia.
Dominasi media dalam sebuah masyarakat menentukan dasar organisasi sosial
manusia dan kehidupan kolektifnya. Untuk menjelaskan idenya, Mc Luhan meneliti
sejarah perkembangan manusia sebagai masyarakat dengan mengidentifikasikan
teknologi media yang memiliki peran penting dan mendominasi kehidupan manusia
pada waktu tertentu dan membaginya dalam empat periode media yang berbeda (dalam Saefuddin, 2008: 384-385), yaitu:
1.
Periode Tribal. Budaya ucap atau tulis (pra-literit) mendominasi perilaku manusia
pada saat itu. Ucapan dari mulut ke mulut menjadikan manusia-manusia yang
menggunakannya sebagai sebuah komunitas yang kohesif. Indra pendengaran memegang
peranan penting dalam proses komunikasi.
2.
Periode Literatur. Penemuan alfabet fenotis digunakan oleh manusia
sebagai simbol-simbol untk berkomunikasi secara tertulis tanpa interaksi tatap
muka. Melalui budaya baca, tulisan, memudahkan manusia untuk mendapatkan
informasi serta penglihatan merupakan indera penting dalam komunikasi ini.
Sifat komunikasi ialah linear.
3.
Periode Percetakan. Pernulisan teks secara massal walaupun masih
bersifat linear tetapi tidak dapat dilakukan pada peride literatur. Seriiring dengan
ditemukannya teknologi mesin cetak oleh Johann Gutenberg, maka manusia pun
memasuki periode percetakan. Buku-buku dan material cetak dapat digunakan oleh
semua orang, sehingga produksi tulisan secara massla ini membentuk hegemonitas
dalam masyarakat karena terjadi pengiriman pesan yang sama kepada semua orang.
Dilihat dari proses konsumsi pesannya, pada peride ini manusia tidak perlu
untuk berada berdekatan secara fisik untuk berbagi pesan, tetapi manusia
seperti terisolasi dan masyarakat pun menjadi terfragmentasi.
4.
Periode Elektronik. Ditemukannya teknologi komunikasi telegraf
menjadi awal dari periode musnahnya fragmentasi masyarakat. Jauhnya jarak untuk
berkomunikasi tidak dirasakan dalam periode ini, sehingga manusia dengan
manusia lainnya menjad terasa sangat dekat.
Dalam perkembangannya, periode elektronik terutama media televisi dan
internet, pesan-pesan yang disampaikan telah mengarahkan khalayak untuk
mengikuti apa yang mereka beritakan. Sehingga nilai-nilai berita pun menuju
kepada atau didominasi oleh berita-berita negatif (negativity). Widodo (2012:2) mengatakan bahwa unsur-unsur negatif
itu dalam adalah Pertama,
konflik. Setiap konflik mengandung drama
(seperti halnya film atau sinetron) yang membuat orang tertarik. Kedua, kecelakaan, krisis, atau bencana. Ketiga, tragedi yang menimpa selebriti. Tak heran,
isi berita infotainment, tak jauh dari hal itu. Keempat, the underdog. Dalam sebuah peristiwa, biasanya ada big guy dan little guy. Kisah orang kecil melawan orang besar, biasanya menarik.
Faktor lain juga adalah faktor eksternal dari pembaca. Tak bisa
dipungkiri, publik menyukai berita-berita negatif. Sepuluh besar jenis berita
yang paling diminati adalah (1) war/terrorism, (2) bad weather, (3) man made disaster, (4)
natural disaster, (5) money, (6) crime and social violence, (7) health and safety, (8) domestic
policy, (9) campaign and elections (10) politics and political scandals. Dari sini tampak bahwa publik lebih suka
mengomsumsi berita negatif dari pada berita positif.
D. KOMUNIKASI
HUMANIS UNTUK KEMASLAHATAN UMAT MANUSIA
Melihat perkembangan media, informasi dan teknologi komunikasi di atas,
maka sangat perlu untuk mengarahkan kembali pemberitaan-pemberitaan media untuk
kebaikan umat manusia. Diupayakan sebisa mungkin untuk meminimalisir
berita-berita negatif namun memaksimalkan pemberitaan berita-berita positif
yang membangun masyarakat secara mental, karakter dan perbuatan. Oleh karena
itu beberapa ha yang perlu menjadi perhatian agar tujuan komunikasi untuk
kemaslahatan umat manusia bisa kembali ke jalur yang benar adalah:
1.
Pemanfaatan
ilmu dengan memperhatikan moralitas.
Adakah
ilmu yang bebas nilai? Tentu saja ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, namun
terikat oleh nilai individu yang memandang sebuah ilmu itu (Suriasumantri,
2010:233). Begitu juga dengan ilmu komunikasi, disana ada individu yang beperan
sebagai komunikator. Disinilah diharapkan komunikator mengarahkan komunikasi
itu untuk memanusiakan manusia. Komunikator tidak boleh mengarahkan
komunikannya untuk sebuah kebodohan akibat informasi-informasi yang terus
menerus negatif.
Ilmu komunikasi yang merupakan salah satu
perwujudan dari nilai-nilai filosofis komunikasi, maka dalam melakukan
kegiatan-kegiatan komunikasi, apakah itu dalam bentuk pemberitaan lewat media
televisi dan internet kiranya dapat memperhatikan nilai-nilai moral dan
tanggungjawab sosial. Dengan demikian diharapkan adanya perubahan paradigma
pemanfaatan lmu komunikasi di Indonesia.
2.
Menghindari
materialisme dan pragmatisme.
Penyebab
lahirnya berbagai pemberitaan-pemberitaan negatif di berbagai media akhir-akhir
ini adalah disebabkan karena media dalam melaksanakan fungsinya mengedepankan
pragmatisme dan materialisme.
Ada lima faktor yang mempengaruhi isi media
(Widodo, 2012:5). Pertama,
‘individual level’, kedua, ‘media routines level’, ketiga, ‘organization
level’, keempat, ‘extra media level’, dan kelima, ‘ ideological level’.
Individual level menyangkut para
jurnalis dan faktor yang melingkupi antara lain, latar belakang pendidikan,
perkembangan profesionalnya, dan keterampilan dalam menyampaikan berita secara
akurat. Penting juga diamati perilaku, pemahaman erhadap nilai dan kepercayaan
dari para professional jurnalis tersebut, juga orientasi dari mereka paling
tidak dalam proses sosialisasi terhdap bidang pekerjaannya. Apakah mereka
meletakkan dirinya pada posisi sebagai pihak yang netral atau partisipan aktif
dalam mengembangkan berita.
“Media Routine Level” berkaitan dengan
perspektif organisasi media. Aturan yang berlaku menyangkut proses penentuan
berita. Rutinitas media berkaitan erat dengan bagaimana ‘proses gatekeeping; di
dalam media. Rutinitas media merupakan prosedur yang tetap yang diberlakukan
dalam sebuah media. “Organization Level” menyangkut faktor struktur organisasi
media: bagaimana strukturnya, proses pengambilan keputusannya, khususnya untuk
hal yang di luar rutin; kebijakan apa yang ditetapkan dalam organisasi.
“Extramedia Level” adalah faktor di
luar media yang menyangkut tiga faktor utama. Pertama, sumber berita: sumber
berita yang merupakan sumber isi media, mempunyai kepentingan tertentu, yang
melalui kampanye public
relations dan pressure group bisa memengaruhi proses konstruksi realitas
di dalam media. Kedua, Revenue
resources atau sumber penghasilan media berupa iklan, pelanggan, maupun
khalayak melalui sistim rating mampu memengaruhi proses konstruksi realitas
media. Ketiga, lembaga atau institusi lain di luar media, seperti kalangan
bisnis, pemerintah, ekonomi maupun teknologi. “Ideological Level” diartikan
sebagai kerangka- kerangka referensi yang terintegrasi di mana masing-masing
individu melihat realitas dan bagaimana individu-individu tersebut bertindak
terhadap realitas yang ada.
3.
Manajemen
media yang baik.
Beberapa waktu terakhir, studi tentang ekomomi media,
industri media, khususnya manajemen media mendapatkan tempat yang cukup penting
dalam studi media. Ekonomi media merupakan studi yang mengaplikasikan konsep
dan prinsip-prinsip ekonomi dalam industri media. Sedangkan manajemen media
membahas tentang strategi perusahaan dalam mengelola bisnis media. Menurut Amir
Efendi Siregar (dalam Widodo, 2012:4), manajemen media memelajari pengelolaan
media dengan prinsip-prinsip manajemen, baik terhadap media sebagai industri
yang bersifat komersial maupun sosial, maupun media sebagai institusi komersial
dan institusi sosial. Manajemen media memberikan pengetahuan tentang pengelolaan
media yang meliputi planning,
organizing, influencing, budgeting, controlling. Sebagai institusi komersial, media
ditujukan untuk kepentingan pasar. Di sini media dikelola sesuai dengan peranan
dan fungsinya sebagai media untuk memeroleh keuntungan komersial pemilik atau
pengelolanya. Dalam kaitan ini, terdapat peranan dan fungsi sosial media,
antara lain sebagai pemberi informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Sebagai industri yang bersifat
komersial dan sosial, media tentu berbeda dengan industri lainnya. Produk media
harus dijaga kualitasnya sesuai dengan periodesasi media. Kualitas yang baik
ditentukan atau dihasilkan oleh manajemen media yang baik. Media yang
berkualitas yang didukung oleh manajemen yang baik akan membuat media tumbuh
dan berkembang dengan baik. Kondisi ini akan mendukung upaya pencerdasan
kehidupan bangsa, dan membantu masyarakat mendapatkan informasi yang bisa
digunakan untuk meningkatkan derajat dan kualitas mereka. Dengan demikian,
studi manajemen media akan ikut mendorong pertumbuhan media serta kehidupan
demokrasi yang menjamin adanya freedom of expression, freedom of speech, and freedom of the press meningkatkan kesejahteraan rakyat.
3. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan memahami kondisi penerapan ilmu komunikasi dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini, maka sangat diperlukan agar paradigma para pelaku media
dan juga masyarakat dapat diubah. Tujuannya adalah untuk membawa masyarakat
Indonesia ke level yang lebih tinggi yaitu komunikasi untuk memanusiakan
manusia. Dengan demikian keberadaan komunikasi menjadi alat untuk kemaslahatan
umat manusia.
Maka beberapa tindakan yang haru dilakukan adalah pengutamaan
nilai-nilai moral dan tanggungjwab sosial dalam penerapan ilmu komunikasi.
Tidak mengedepankan prakmatisme serta materialisme dan menciptakan manajemen
media yang baik serta perubahan total atas paradigma masyarakat kita dalam
menerima dan memahami media.
B. SARAN
Ilmu komunikasi sebagai ilmu sosial harus lebih bisa mendarat dalam
mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Peningkatan standar pemberitaan dengan
meningkatkan persentase berita-berita positif. Dan juga pelaksanaan
sosialisasi-sosialisasi tentang literasi media kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. (2013). Integrasi Sains dan Agama: Tinjauan Filsafat
Ilmu Kontemporer. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI Press).
Burhani, Ruslan. Pakar: Pemberitaan Negatif Bisa
Sebabkan Gangguan Jiwa, diakses
dari http://www.antaranews.com/berita/310121/pakar-pemberitaan-negatif-
sebabkan-gangguan-jiwa. 2012.
Cangara,
Hafied. (2008). Pengantar Ilmu Komunikasi. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Effendy,
Onong Uchyana. (2003). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Littlejohn,
Stephen W dan Foss, Karen A. (2008). Theories of Human Communications Ninth
Edition. Belmont: Thomson Wadsworth
Saefuddin,
Asep. (2008). Perkembangan Teknolgi
Komunikasi: Perspektif Komunikasi Peradaban. Jurnal Mediator, Vol. 9 No. 2
Desember 2008.
Suriasumantri, Jujun S. (2010). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta;
Pustaka Sinar Harapan.
Widodo, Yohanes. Membangun Good Image Indonesia melalui Internet: Studi Kasus Good
News From Indonesia (GNFI). Makalah yang
dipresentasikan pada The
5th International Indonesia Forum 2012: Between the Mountain and the Sea:
Positioning Indonesia,Universitas Gadjah Mada and Yale University, 9-10 July
2012.
lengkap banget kak sangat membantu sekali
ReplyDeleteberita real madrid