Paradigma dan Perspektif*

Image
Oleh: Fikar Damai Setia Gea A.     Pengertian Paradigma Secara etimologis kata Paradigma bermula pada sejak abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari Bahasa Latin pada tahun 1943 yaitu paradigma   yang berarti suatu model atau pola. Sementara dalam Bahasa Yunani berasal dari kata paradeigma (para+deignunai) yang berarti untuk “membandingkan”, “bersebelahan” (para) dan “memperlihatkan” (deik). Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama khususnya dalam disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa pengertian paradigma menurut pada ahli adalah sebagai berikut: Pengertian paradigma menurut Patton (1975) : “A world view, a general perspective, a way of   breaking down of the complexity of the real world” (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata) . Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs (197

KOMUNIKASI HUMANIS*

Oleh: Fikar Damai Setia Gea**

1.    PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini perkembangan komunikasi di Indonesia utamanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi baik melalui media televisi maupun media baru internet mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat siginifikan.  Namun perubahan itu tidak serta merta adalah sesuatu yang positif. Justru sangat jamak kita temukan pemberitaan-pemberitaan negatif yang mendominasi ruang publikasi dan menjadi konsumsi masyarakat. Keterbatasan pilihan akan sumber-sumber informasi pun membuat masyarakat tidak berdaya dan dengan terpaksa menjadi korban penderita akibat terpaan media yang sangat sulit untuk dibendung.
Sejak bangun pagi hingga menjelang tidur, berita dan tayangan televisi tentang korupsi, pembunuhan, penculikan, kasus suap, kecelakaan dan berita  negatif lainnya, membombardir ruang-ruang privasi kita. Fenomena tayangan atau berita negatif itu cukup fantastis. Arry Rahmawan (dalam Widodo, 2012:1) mencatat, perbandingan berita positif dan negatif yang ditayangkan stasiun televise di Indonesia rata-rata 1:11. Satu untuk berita positif dan 11 untuk berita negatif.
Sebagian besar koran pun sering menampilkan headline sensasional dan mengerikan. Sajian atau tayangan media nefatif cenderung menyebarkan pesimisme, menguatkan ketidakpastian, dan menurunkan rasa percaya diri. Orang pun merindukan berita atau cerita yang positif dan mencerahkan.
Ada dua faktor yang mempengaruhi dan menguatkan hal ini. Pertama, faktor internal media, dalam hal ini pengaruh yang kuat dari seluruh struktur praktik jurnalisme, mulai dari ideologi media, editor, sampai wartawan. Ada asumsi di dunia jurnalisme, berita jika tidak ‘berdarah’, tak dibaca orang. Seperti frase ’If it bleeds, it leads.’ Jika pesawat mendarat mulus, bukan berita; jika sebaliknya, baru berita. ‘Bad news is good news. No news is good news!’ Bagi wartawan, berita-berita semacam itu paling mudah untuk dicari dan ditulis. Tak perlu susah, tak perlu rumit!
Newsroom media juga mengenal istilah layak berita (news worthy) dan nilai berita (news value), yakni kriteria yang membuat sebuah peristiwa menarik untuk diberitakan. Intinya, semakin besar kesenjangan atau devisi situasi normal, maka semakin tinggi kelayakan berita. Ada adagium yang sering kita dengar di jurnalisme: "If a dog bites a man, that's not news”; “If a man bites a dog, that's news!".
Sejumlah studi menegaskan bahwa pemberitaan negatif berpengaruh buruk terhadap audience. Menurut pakar psikologi komunikasi Jalaludin Rakhmat (dalam Burhani, 2012:3), pemberitaan negatif berpotensi menyebabkan gangguan jiwa terhadap masyarakat, meskipun dalam skala yang lebih kecil dari kegilaan. Walaupun tidak selamanya berita negatif itu buruk, namun tetap saja bahwa berita-berita yang ditayangkan terus menerus negatif mengakibatkan munculnya pesimisme dalam masyarakat.
Kondisi pemberitaan yang seperti itu akhir-akhir ini menimbulkan adanya kekhawatiran bagi masyarakat. Akibatnya adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mempersoalkan kembali kemanakah arah perkembangan teknologi dan komunikasi di Indonesia? Sudah saatnya media dan konsumen media harus bersinergi menangkal arus berita negatif. Media perlu mengubah paradigma dan mengembangkan konsep jurnalisme positif atau jurnalisme optimis. Betul bahwa ada adagium ‘bad news definitely sells’. Hal ini tak bisa ditolak atau dipungkiri, bahwa selalu ada pasar untuk berita negatif. Berita negatif selalu lebih dramatis dan menarik. Namun, saya yakin jika masyarakat diberi pilihan, mereka akan lebih memilih ‘good news’ sehingga ‘good news sells too’. No news is better than bad news.’
Memberi pilihan kepada masyarakat untuk dapat memiliki paradigma baru terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak bisa terjadi hanya dengan pemahaman yang dangkal. Sebuah paradigma hanya bisa berubah jika ada pemahaman mendasar, mendalam dan total terhadap apa sebenarnya tujuan komunikasi itu ada. Oleh karena itu diperlukan satu pemikiran filsafati bahwa komunikasi ada untuk tujuan yang baik yaitu untuk memanusiakan manusia atau dengan kata lain komunikasi ada untuk kemaslahatan umat manusia.

B.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini adalah:
  1.     Adanya pergeseran nilai filosofis terhadap tujuan komunikasi yang kini telah telah mengarah kepada pemuasan hegemoni sesaat masyarakat.
  2.    Rendahnya pemahaman masyarakat dalam menerima berbagai informasi yang disampaikan oleh media karena menerima informasi mentah-mentah tanpa ada konsep filosofis apakah berita itu dibuthkan atau tidak.

      C.    TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.  Mendeskripsikan secara filosofis tujuan komunikasi untuk kemaslahatan umat manusia.
2.  Mengubah paradigma masyarakat kearah pemikiran baru bahwa informasi yang dikonsumsi adalah hanya informasi yang memang menjadi kebutuhan kita.

D.    MANFAAT
Manfaat penulisan makalah ini adalah: memberikan masukan kepada pelaku media dan juga masyarakat konsumen berbagai pemberitaan melalui teknologi informasi dan komunikasi agar memperhatikan nilai-nilai kebaikan, optimisme, moralitas dan kemanusiaan dalam memberitakan sesuatu.

2.    KOMUNIKASI UNTUK KEMASLAHATAN UMAT MANUSIA
A.    PENGERTIAN KOMUNIKASI
Komunikasi itu adalah Omni Present artinya selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Oleh karenanya dalam perkembangan dunia dewasa ini komunikasi menjadi bagian yang sangat penting. Baik dalam dunia kesehatan, pertanian, hukum, perencanaan dan pembangunan, politik, hubungan internasional, organisasi atau kelembagaan, bahkan dunia teknologi informasi yang berkaitan langsung dengan komunikasi sangat erat dengan komunikasi itu sendiri.
Keberadaan komunikasi yang sangat penting itu, maka juga perlu untuk mengetahui secara mendalam bagaimana perkembangan komunikasi menjadi salah satu cabang ilmu pengetahun? Bagaimana ilmu komunikasi menjadi satu bidang ilmu yang multidisipliner?
Komunikasi adalah salah satu bidang ilmu yang sangat digandrungi oleh para pakar dari bidang lainnya. Sehingga definisi-definisi komunikasi pun sangat banyak ditinjau dari perspektif masing-masing pakar. Namun demikian yang menjadi hal pokok juga ialah bagaimana komunikasi dan umumnya teori komunikasi menjadi satu landasan filosofi sehingga komunikasi benar-benar dipahami secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis, kritis dan holistik.
Secara etimologis istilah komunikasi atau yang dalam bahasa Inggris communication  berasal dari kata Latin yakni communicatio dan bersumber pula dari kata communis yang berarti sama makna (Cangara, 2008:20). Jadi, ketika dua orang terlibat dalam satu percakapan maka selama ada kesamaan makna di antara keduanya maka mereka telah melakukan satu proses komunikasi.
Komunikasi sangat erat kaitannya dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Sehingga berbagai disiplin ilmu dimaksud telah memberikan banyak kontribusi dalam perkembangan ilmu komunikasi seperti psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu manajemen, linguistik dan lain sebagainya. Oleh karena itu, definisi komunikasi yang ada saat ini sangat kompleks karena definisi komunikasi diberikan oleh berbagai pakar dengan perspektif yang berbeda-beda.
Menurut Carl I. Hovland (dalam Cangara, 2008:19) pakar psikologi dari Amerika Serikat, komunikasi adalah: Upaya sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland ini menunjukkan bahwa objek studi ilmu komunikasi tidak hanya sekedar penyampaian informasi melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang sangat penting.
Harold D. Laswel (dalam Cangara, 2008:21) pakar ilmu politik mendefinisikan komunikasi sebagai: siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya? (Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?). Paradigma Laswel ini menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:
Ø Komunikator (Communicator, Source, Sender)
Ø Pesan (Message)
Ø Media (Channel, media)
Ø Komunikan (communicant, receiver, recipient)
Ø Efek (effect, impact, influence)
Jadi, berdasarkan pradigma Laswell di atas komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
Everett M. Rogers (dalam Cangara, 2008:22) seorang pakar Sosiologi Amerika Serikat mendefinisikan komunikasi sebagai: proses dimana satu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (dalam Cangara, 2008:22) sehingga melahirkan definisi baru yakni: Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.
Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia (human communicaton) menyebutkan bahwa komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar sesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.
Setelah mempelajari beberapa definisi komunikasi oleh para ahli di dan juga definisi komunikasi menurut kelompok sarjana komunikasi (antar manusia) saya berpandangan bahwa komunikasi sesungguhnya tidak dapat dibatasi hanya sebatas menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan. Hal ini disebabkan oleh karena komunikasi pada dasarnya multidisipliner yang dapat masuk atau dapat dimanfaatkan ke berbagai disiplin ilmu bahkan kedalam berbagai bidang kehidupan sosial. Maka atas dasar itu, saya menyimpulkan bahwa komunikasi adalah: sebuah transaksi nilai di dalam kehidupan masyarakat yang dilakukan untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama, membentuk sikap dan mengubah paradigma untuk tujuan-tujuan kebaikan dan kemaslahatan umat manusia.
Berdasarkan catatan Dance dan Larson bahwa sampai pada tahun 1976 telah ada 126 definisi komunikasi. Definisi ini merupakan definisi dari berbagai pakar bidang keilmuan dengan perspektif masing-masing sesuai dengan kajian ilmu yang dibidanginya

B.    ANALISIS FILOSOFIS KOMUNIKASI
Memahami pengertian teori dan teori komunikasi, berikut ini adalah kajian pemikiran pakar komunikasi Wilbur Schramm dalam bukunya Introduction to Mass Communication Reserch (dalam Efendy, 2003:318) mendefinisikan teori sebagai: “Suatu perangkat pernyataan yang saling berkaitan, pada abstraksi dengan kadar yang tinggi, dan dari padanya proposisi bisa dihasilkan yang dapat diuji secara ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan prediksi mengenai perilaku.”
Dari definisi di atas jelas bahwa teori adalah hasil telaah dengan metode ilmiah. Alexis S. Than dalam bukunya Mass Communication Theory and Research (dalam Efendy, 2003:321) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan metode ilmiah adalah metode penyelidikan atau metode pemapanan kebenaran yang menunjukkan ciri-ciri, sebagai berikut:
1)   Objektifitas
Metode ilmiah mencari fakta dengan menganalisis informasi dari dunia nyata. Fakta dipilih bukan karena keinginan  tetapi karena dapat diuji secara berulang-ulang.
Objektifitas dapat dicapai paling tidak dengan dua cara:
a)    Empirisme, mensyaratkan suatu kepercayaan atau proposisi harus diuji dalam dunia nyata yaitu dunia yang daat diindera (dilihat, dirasa, diraba) dan dapat dialami.
b)   Logika Formal, mengkaji kondisi-kondisi dimana kepercayaan atau proposisi perlu mengikutinya dan karenanya dapat ditarik kesimpulan dan proposisi-proposisi lainnya.
Namun, pertanyaannya adalah apakah ilmu itu benar-benar objektif? Selama berabad-abad para ilmuwan didoktrin bahwa ilmu itu adalah objektif. Hal ini didukung dengan bantuan media utamanya media cetak sejak sosiologi modern oleh August Comte dirintis. Ada pandangan bahwa sains objektif, universal dan bebas nilai, tidak boleh diwarnai oleh nilai, budaya dan agama apapun berkembang sejak zaman Renaisans sampai tahun 1960-an. Marcelo Pera (dalam Agus, 2013:132) mengatakan bahwa Founding Father sains telah terlanjur menekankan bahwa sains tidak kontroversial, ilmu objektif dan universal. Namun, kita anak-anaknya telah kehilangan kepercayaan terhadap apa yang mereka katakan sins of the fathers and regreats of the sons, dosa bapak pendahulu kita dan penyesalan kita anak-anak mereka.
Thomas Khun (dalam Agus, 2013:133) mengatakan bahwa pandangan sains yang objektif dan universal itu masih didukung oleh paradigma yang dominan dan dilawan oleh yang berparadigma lain. Dengan demikian, paradigma dapat dipahami sebagai suatu tatanan nilai atau konsep yang menjadi dasar atau patron atau menjadi sebuah titik pangkal bertolaknya pandangan seseorang dalam memahami atau menguraikan realitas yang dialaminya.
 Paradigma menjadi landasan yang sifatnya umum yang kepadanya berasal penjabaran-penjabaran atau bagaimana seseorang menguraikan sebuah realitas. Sehingga dari situ dapat menunjukkan siapa diri seseorang dari cara dia memandang sesuatu yang membentuk citra subjektif terhadap dirinya. Ibarat seorang ilmuwan maka citra dirinya yang menunjukkan bahwa dia adalah ilmuwan dalam bidang tertentu adalah dari paradigma yang mendasari cara berpikirnya. Sehingga, sebuah konsep dalam dunia ilmiah dapat dinterpretasikan dengan paradigmanya sendiri oleh komunitas ilmiah lainnya.
William A. Drees dalam bukunya Religion and Science in Context (dalam Agus, 2013:135) juga membantah pendapat bahwa sains adalah impersonal dan objektif dari segi sejarah sains. Dalam pemikiran Wiliam ini menjelaskan bahwa arah pengembangan sains justru semakin mempersempit diri hanya fokus kepada saintisme sebagai otoritas. Ilmu pengetahuan tidak memberikan kepastian, tidak memberikan pengetahuan yang objektif dan universal.
Terhadap ilmu pengetahuan atau sains yang bebas nilai (value free) juga mendapat bantahan dari Roy A. Clauser dalam bukunya The Myth of Religious Neutrality. An Essay on the Hidden Role of Religious Belief in Theories (dalam Agus, 2013:135). Clauser berpendapat bahwa ilmu yang bebas nilai adalah kemustahilan karena ada satu kepercayaan yang paling kuat dan paling mempengaruhi seseorang yaitu agama. Dengan demikian setiap orang dalam kehidupannya akan terpengaruh oleh pengalaman hidup dan juga nilai-nilai agama yang dianut dan dipercayainya.
Atas dasar pemikiran para ilmuwan tersebut di atas maka saya berpendapat bahwa untuk era modern dan digital sekarang ini, pandangan bahwa ilmu pengetahuan atau sains itu objektif dan universal tidak dapat dijadikan acuan atau dasar otoritas lagi. Karena seseorang dalam memahami sebuah konsep ilmiah sesederhana apapun akan sangat dipengaruhi oleh paradigmanya dan terlebih daripada itu adalah bahwa ada nilai kepercayaan (agama) yang dianut dan dipercayainya yang sangat berpengaruh yang telah mengisi setiap pengalaman perjalanan  kehidupannya.
2)   Berorientasikan masalah
Metode ilmiah dapat dimulai hanya kalau seorang peneliti mengakui adanya masalah, baik yang praktis maupun yang teoritis yang memerlukan keputusan.
3)   Dipandu hipotesis
Metode olmiah dipandu oleh hiptesis yaitu sebuah keterangan atau keputusan yang diajukan kepada masalah untuk memulai penelitian. Hipotesis biasanya dimulai dengan ungkapan atau pernyataan Jika......., Maka........
4)   Berorientasikan teori
Tujuan jangka pendek metode ilmiah adalah untuk menemukan fakta-fakta secara ilmiah yang dapat memecahkan suatu asalah, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah merumuskan teori.
Teori adalah seperangkat dalil atau prinsip umum yang kait mengkait (hipotesis yang diuji berulang-ulang) mengenai aspek-aspek suatu realitas. Fungsi teori adalah menerangkan, meramalkan dan menemukan keterpautan fakta-fakta secara sistematis.
5)   Korektif mandiri
Teori itu sifatnya dinamis. Tidak ada dalil yang final atau bebas dari pertanyaan. Sifat korektif mandiri dari ilmu menyebabkan perlu bagi ilmuwan untuk meberikan keleluasaan kepada ilmuwan lain dalam bidang yang sama untuk meneliti secara mendalam.
Lebih jauh lagi dalam memahami teori, perlu untuk melihat sisi komitmen-komitmen filosofis berdasarkan metateori. Metateori ialah sebuah peristalahan bagaimana sebuah teori muncul atau juga sering disebut dengan teori tentang teori. Sebagaimana ilmu (Littlejhon, 2008: 22-27) secara filosofis muncul dilihat dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, maka teori juga demikian.
a.       Ontologi (Hakikat Realitas)
Studi ontologi dengan filsafat meliputi penyelidikan-penyelidikan menuju hakikat keberadaan. Dalam diskusi-diskusi dengan penelitian sosial, pertanyaan-pertanyaan dari ontologi meliputi isu-isu seperti “Apa hakikat dari realitas?” dan “Apa hakikat dari hal yang dapat diketahui?” Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan dari ontologi mencari hakikat dari fenomena yang kita cari dalam ilmu pengetahuan kita- apa yang kita teorikan.
Sebuah isu metateoritis sentral adalah satu pendirian ontologi diambil dengan memperhatikan dunia sosial. Sebuah ontologi teoris sosial bisa menjadi realistis dengan memposisikan sebuah realitas yang sukar dan solid dari objek-objek ilmu alam dan sosial. Atau sebuah pendirian teoris bisa menjadi nominalist dalam mengusulkan bahwa realitas entitas sosial hanya dalam nama dan label yang kita sediakan untuk mereka. Atau sebuah pendirian teoris bisa menjadi konstruksi sosial dalam menekankan jalan-jalan/cara-cara dalam pengertian-pengertian/arti-arti sosial diciptakan melalui interaksi historis dan kontemporer dan tata cara dalam  pengkonstruksian sosial memungkinkan dan memaksa kelakuan kita yang selanjutnya.
Konstruksi sosial yang membentuk sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sosial sering melupakan nilai-nilai teologis, karena dalam perkembangannya sains sering tidak melibatkan nilai-nilai teologis dan begitu juga sebaliknya. Ada kesan bahwa keduanya ini saling bertolak belakang dan tidak bisa dipertemukan satu dengan yang lainnya. Agus (2015) menyetir pemikiran Mircea Eliade bahwa ada ruang kemanusiaan yang mampu menghadirkan dunia dan menemukan kebenaran secara imajinatif melalui riwayat sakral (sacred narratives). Yang dalam istilah Carl Jung (Agus:2015) psikolog Swiss menyebutnya sebagai archetypes, yaitu bentuk-bentuk fundamental yang tertancap dalam kesadaran manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan menyampaikan kebenaran esensial (essential truths).
Adam Frank dalam bukunya The Constant Fire (Agus:2015) mengungkapkan bahwa dalam pengalaman spiritual mengandung sesuatu kebenaran  yang perlu ditelusuri. Kebenaran lebih dari sekedar gejala kimiawi otak yang menjadi perhatian neurologi selama ini. Salah satu bentuk dalam usaha manusia mencari kebenaran atau pengetahuan adalah melalui wahyu (Suriasumantri, 2010:44). Dalam hal ini ialah sebuah kebenaran atau pengetahuan didapatkan bukan karena usaha aktif manusia melainkan karena pemberian atau ditawarkan kepada seseorang. Pemberian kebenaran dilakukan melalui pewahyuan yang diberikan oleh Tuhan lewat para nabi yang kemudian dipercaya atau tidak dipercaya  berdasarkan masing-masing keyakinannya.
Keyakinan yang didapatkan melalui pewahyuan ini dalam perkembangan peradaban manusia menjadikannya sebagai agama. Oleh karena itu agama menjadi penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Malefitj (dalam Agus:2015) mengatakan bahwa agama adalah petunjuk yang dipercayai berasal dari Tuhan Pencipta alam dam manusia Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
b.      Epistemologi (Hakikat Pengetahuan)
Studi epistomologi dengan filsafat meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang penciptaan dan pertumbuhan dari pengetahuan. Fondasi-fondasi epistomologis meliputi sebuah ide teoris tentang apa pengetahuan dan bagaimana pengetahuan dapat disusun dalam dunia sosial. Menurut objektivis, pengetahuan harus terdiri dari pernyataan kausal tentang dunia sosial dan harus dihasilkan melalui usaha dari sebuah komunitas ilmuwan menggunakan metode-metode ilmiah yang ditetapkan. Sedangkan menurut subjektivis, pengetahuan disituasikan dengan keadaan lokal dan dengan demikian harus diperoleh melalui pengalaman atau melalui interaksi yang dikembangkan dengan orang-orang yang mengerti.
c.       Aksiologi (Peran Nilai)
Ada tiga posisi pada aksiologi:
Pertama, nilai-nilai mempunyai peran dalam penelitian, tetapi peran tersebut dipaksa dalam istilah ketika nilai-nilai dari bermacam-macam jenis mempengaruhi ilmu pengetahuan.
Kedua, itu tidak mungkin untuk menghilangkan pengaruh nilai-nilai dari sesuatu bagian usaha penelitian. Tentu saja nilai tidak boleh dipisahkan atau bebas nilai terhadap ilmu pengetahuan ilmiah atau sains. Dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan nilai setidaknya memiliki tiga fungsi mendasar yang membawa sebuah ilmu pengetahuan itu pada derajat yang lebih tinggi dalam kehidupan manusia. Fungsi pertama adalah untuk memajukan kehidupan yang bertujuan agar manusia tidak berhenti pada taraf mencukupkan kebutuhan hidup pada taraf minimal subsistem (Agus, 2013:294). Sebuah ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi yang lebih luas untuk kemaslahatan umat manusia. Berbagai alat diciptakan untuk tujuan membantu dan menolong manusia mempermudah dan mempercepat segala sesuatu yang dikerjakannya.
Fungsi nilai yang kedua adalah mengontrol dan meramalkan sesuatu (Agus, 2013:295). Disamping merekayasa ilmu pengetahuan, fungsi untuk meramalkan atau prediksi dini juga penting dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Penerapan teori-teori alam sangat berguna dalam memprediksi kecenderungan akan adanya angin puting beliung, tsunami, gempat, gunung meletus dan bencana lainnya. Begitu juga dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan penting untuk memprediksi apa dampak yang akan terjadi ke depan baik dilihat dari sisi ekonomi maupun dalam kehidupan sosial. Lagi-lagi dalam hal ini diharapkan nilai mendasar sangat berperan dalam sains untuk kemaslahatan umat manusia.
Fungsi nilai yang ketiga adalah fungsi kontrol (Agus, 2013:297). Ilmu pengetahuan juga berperan dalam melakukan kontrol. Sebuah hasil ciptaan pasti ada pengaruhnya terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya. Jika sudah tahu apa penyebab banjir mka sebuah kontrol dilakukan dengan tidak membabat hutan dan tidak membuag sampah ke sungai.
Jika sebuah ilmu dikembangkan oleh seorang ilmuwan, apakah hasil temuannya itu dibiarkan saja dan terserah kemana saja digunakan? Dalam hal inilah dibutuhkan sebuah tanggungjawab moral atas sebuah temuan-temuan ilmiah oleh ilmuwan itu sendiri maupun juga kepada pengguna dari temuan iliah itu. Karena jika tidak sebuah hasil penemuan ilmiah akan dengan mudah dimanfaatkan oleh penguasa atau pemegang kendali kebijakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu tanpa diketahui apakah itu untuk kebaikan atau untuk keburukan. Maka dalam hal ini perlu satu pemahaman yang sangat mendasar bahwa sebuah penemuan ilmu pengetahuan kiranya dapat dipergunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Dalam pandangan agama sebagai sebuah nilai yang terpadu dan komprehensif (kaffah dan tauhidy), sebuah penemuan ilmu pengetahuan harus diarahkan untuk tujuan kebaikan yang rahmatan lil’amin.
Ketiga, nilai-nilai tidak hanya membimbing/memimpin pilihan-pilihan topik-topik penelitian dan mempengaruhi praktek penelitian tapi juga bahwa ilmu pengetahuan melibatkan partisipasi aktif dalam pergerakan perubahan sosial.
Dengan demikian teori menjadi berfungsi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan empiris, konseptual, dan praktis, dan kualitas dari teori dapat dinilai  - dalam sebuah pengertian sangat umum - dalam perkataan jawaban-jawaban yang disediakan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.

C.    PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI
McLuhan (dalam Saefuddin, 2008: 383) melihat media sebagai hal utama yang menentukan atau mempengaruhi hal lainnya. Pemikiran ini berusaha menjelaskan bagaimana teknologi, terutama perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, menentukan bagaimana individu dalam masyarakat memikirkan sesuatu, merasakan sesuatu dan melakukan tindakan tertentu.
Dasar pemikirannya adalah perubahan-perubahan cara manusia untuk berkomunikasi membentuk keberadaan kita. Secara falsafah hal ini mengarahkan bagaimana seseorang mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik,  bermakna dan bermanfaat. Untuk memahami pernyataan itu, ada tiga kerangka urutan pemikiran, yaitu:
1.     Penemuan-penemuan hal baru dalam bidang teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya.
2.     Perubahan komunikasi manusia membentuk eksistensi kehidupan manusia.
3.     Kita membentuk alat-alat yang kita perlukan dan sekarang giliran-alat itu yang membentuk diri kita.
McLuhan menyatakan bahwa media merupakan inti dari perdaban manusia. Dominasi media dalam sebuah masyarakat menentukan dasar organisasi sosial manusia dan kehidupan kolektifnya. Untuk menjelaskan idenya, Mc Luhan meneliti sejarah perkembangan manusia sebagai masyarakat dengan mengidentifikasikan teknologi media yang memiliki peran penting dan mendominasi kehidupan manusia pada waktu tertentu dan membaginya dalam empat periode media yang berbeda (dalam Saefuddin, 2008: 384-385), yaitu:
1.     Periode Tribal. Budaya ucap atau tulis (pra-literit) mendominasi perilaku manusia pada saat itu. Ucapan dari mulut ke mulut menjadikan manusia-manusia yang menggunakannya sebagai sebuah komunitas yang kohesif. Indra pendengaran memegang peranan penting dalam proses komunikasi.
2.     Periode Literatur. Penemuan alfabet fenotis digunakan oleh manusia sebagai simbol-simbol untk berkomunikasi secara tertulis tanpa interaksi tatap muka. Melalui budaya baca, tulisan, memudahkan manusia untuk mendapatkan informasi serta penglihatan merupakan indera penting dalam komunikasi ini. Sifat komunikasi ialah linear.
3.     Periode Percetakan. Pernulisan teks secara massal walaupun masih bersifat linear tetapi tidak dapat dilakukan pada peride literatur. Seriiring dengan ditemukannya teknologi mesin cetak oleh Johann Gutenberg, maka manusia pun memasuki periode percetakan. Buku-buku dan material cetak dapat digunakan oleh semua orang, sehingga produksi tulisan secara massla ini membentuk hegemonitas dalam masyarakat karena terjadi pengiriman pesan yang sama kepada semua orang. Dilihat dari proses konsumsi pesannya, pada peride ini manusia tidak perlu untuk berada berdekatan secara fisik untuk berbagi pesan, tetapi manusia seperti terisolasi dan masyarakat pun menjadi terfragmentasi.
4.     Periode Elektronik. Ditemukannya teknologi komunikasi telegraf menjadi awal dari periode musnahnya fragmentasi masyarakat. Jauhnya jarak untuk berkomunikasi tidak dirasakan dalam periode ini, sehingga manusia dengan manusia lainnya menjad terasa sangat dekat.
Dalam perkembangannya, periode elektronik terutama media televisi dan internet, pesan-pesan yang disampaikan telah mengarahkan khalayak untuk mengikuti apa yang mereka beritakan. Sehingga nilai-nilai berita pun menuju kepada atau didominasi oleh berita-berita negatif (negativity). Widodo (2012:2) mengatakan bahwa unsur-unsur negatif itu dalam adalah Pertama, konflik. Setiap konflik mengandung drama (seperti halnya film atau sinetron) yang membuat orang tertarik. Kedua, kecelakaan, krisis, atau bencana. Ketiga, tragedi yang menimpa selebriti. Tak heran, isi berita infotainment, tak jauh dari hal itu. Keempat, the underdog. Dalam sebuah peristiwa, biasanya ada big guy dan little guy. Kisah orang kecil melawan orang besar, biasanya menarik.
Faktor lain juga adalah faktor eksternal dari pembaca. Tak bisa dipungkiri, publik menyukai berita-berita negatif. Sepuluh besar jenis berita yang paling diminati adalah (1) war/terrorism, (2) bad weather, (3) man made disaster, (4) natural disaster, (5) money, (6) crime and social violence, (7) health and safety, (8) domestic policy, (9) campaign and elections (10) politics and political scandals. Dari sini tampak bahwa publik lebih suka mengomsumsi berita negatif dari pada berita positif.

D.    KOMUNIKASI HUMANIS UNTUK KEMASLAHATAN UMAT MANUSIA
Melihat perkembangan media, informasi dan teknologi komunikasi di atas, maka sangat perlu untuk mengarahkan kembali pemberitaan-pemberitaan media untuk kebaikan umat manusia. Diupayakan sebisa mungkin untuk meminimalisir berita-berita negatif namun memaksimalkan pemberitaan berita-berita positif yang membangun masyarakat secara mental, karakter dan perbuatan. Oleh karena itu beberapa ha yang perlu menjadi perhatian agar tujuan komunikasi untuk kemaslahatan umat manusia bisa kembali ke jalur yang benar adalah:
1.     Pemanfaatan ilmu dengan memperhatikan moralitas.
Adakah ilmu yang bebas nilai? Tentu saja ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, namun terikat oleh nilai individu yang memandang sebuah ilmu itu (Suriasumantri, 2010:233). Begitu juga dengan ilmu komunikasi, disana ada individu yang beperan sebagai komunikator. Disinilah diharapkan komunikator mengarahkan komunikasi itu untuk memanusiakan manusia. Komunikator tidak boleh mengarahkan komunikannya untuk sebuah kebodohan akibat informasi-informasi yang terus menerus negatif.

Ilmu komunikasi yang merupakan salah satu perwujudan dari nilai-nilai filosofis komunikasi, maka dalam melakukan kegiatan-kegiatan komunikasi, apakah itu dalam bentuk pemberitaan lewat media televisi dan internet kiranya dapat memperhatikan nilai-nilai moral dan tanggungjawab sosial. Dengan demikian diharapkan adanya perubahan paradigma pemanfaatan lmu komunikasi di Indonesia.
2.     Menghindari materialisme dan pragmatisme.
Penyebab lahirnya berbagai pemberitaan-pemberitaan negatif di berbagai media akhir-akhir ini adalah disebabkan karena media dalam melaksanakan fungsinya mengedepankan pragmatisme dan materialisme.
Ada lima faktor yang mempengaruhi isi media (Widodo, 2012:5). Pertama, ‘individual level’, kedua, ‘media routines level’, ketiga, ‘organization level’, keempat, ‘extra media level’, dan kelima, ‘ ideological level’.
Individual level menyangkut para jurnalis dan faktor yang melingkupi antara lain, latar belakang pendidikan, perkembangan profesionalnya, dan keterampilan dalam menyampaikan berita secara akurat. Penting juga diamati perilaku, pemahaman erhadap nilai dan kepercayaan dari para professional jurnalis tersebut, juga orientasi dari mereka paling tidak dalam proses sosialisasi terhdap bidang pekerjaannya. Apakah mereka meletakkan dirinya pada posisi sebagai pihak yang netral atau partisipan aktif dalam mengembangkan berita.
“Media Routine Level” berkaitan dengan perspektif organisasi media. Aturan yang berlaku menyangkut proses penentuan berita. Rutinitas media berkaitan erat dengan bagaimana ‘proses gatekeeping; di dalam media. Rutinitas media merupakan prosedur yang tetap yang diberlakukan dalam sebuah media. “Organization Level” menyangkut faktor struktur organisasi media: bagaimana strukturnya, proses pengambilan keputusannya, khususnya untuk hal yang di luar rutin; kebijakan apa yang ditetapkan dalam organisasi.
“Extramedia Level” adalah faktor di luar media yang menyangkut tiga faktor utama. Pertama, sumber berita: sumber berita yang merupakan sumber isi media, mempunyai kepentingan tertentu, yang melalui kampanye public relations dan pressure group bisa memengaruhi proses konstruksi realitas di dalam media. Kedua, Revenue resources atau sumber penghasilan media berupa iklan, pelanggan, maupun khalayak melalui sistim rating mampu memengaruhi proses konstruksi realitas media. Ketiga, lembaga atau institusi lain di luar media, seperti kalangan bisnis, pemerintah, ekonomi maupun teknologi. “Ideological Level” diartikan sebagai kerangka- kerangka referensi yang terintegrasi di mana masing-masing individu melihat realitas dan bagaimana individu-individu tersebut bertindak terhadap realitas yang ada.
3.     Manajemen media yang baik.
Beberapa waktu terakhir, studi tentang ekomomi media, industri media, khususnya manajemen media mendapatkan tempat yang cukup penting dalam studi media. Ekonomi media merupakan studi yang mengaplikasikan konsep dan prinsip-prinsip ekonomi dalam industri media. Sedangkan manajemen media membahas tentang strategi perusahaan dalam mengelola bisnis media. Menurut Amir Efendi Siregar (dalam Widodo, 2012:4), manajemen media memelajari pengelolaan media dengan prinsip-prinsip manajemen, baik terhadap media sebagai industri yang bersifat komersial maupun sosial, maupun media sebagai institusi komersial dan institusi sosial. Manajemen media memberikan pengetahuan tentang pengelolaan media yang meliputi planning, organizing, influencing, budgeting, controlling. Sebagai institusi komersial, media ditujukan untuk kepentingan pasar. Di sini media dikelola sesuai dengan peranan dan fungsinya sebagai media untuk memeroleh keuntungan komersial pemilik atau pengelolanya. Dalam kaitan ini, terdapat peranan dan fungsi sosial media, antara lain sebagai pemberi informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Sebagai industri yang bersifat komersial dan sosial, media tentu berbeda dengan industri lainnya. Produk media harus dijaga kualitasnya sesuai dengan periodesasi media. Kualitas yang baik ditentukan atau dihasilkan oleh manajemen media yang baik. Media yang berkualitas yang didukung oleh manajemen yang baik akan membuat media tumbuh dan berkembang dengan baik. Kondisi ini akan mendukung upaya pencerdasan kehidupan bangsa, dan membantu masyarakat mendapatkan informasi yang bisa digunakan untuk meningkatkan derajat dan kualitas mereka. Dengan demikian, studi manajemen media akan ikut mendorong pertumbuhan media serta kehidupan demokrasi yang menjamin adanya freedom of expression, freedom of speech, and freedom of the press  meningkatkan kesejahteraan rakyat.

3.    PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Dengan memahami kondisi penerapan ilmu komunikasi dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, maka sangat diperlukan agar paradigma para pelaku media dan juga masyarakat dapat diubah. Tujuannya adalah untuk membawa masyarakat Indonesia ke level yang lebih tinggi yaitu komunikasi untuk memanusiakan manusia. Dengan demikian keberadaan komunikasi menjadi alat untuk kemaslahatan umat manusia.
Maka beberapa tindakan yang haru dilakukan adalah pengutamaan nilai-nilai moral dan tanggungjwab sosial dalam penerapan ilmu komunikasi. Tidak mengedepankan prakmatisme serta materialisme dan menciptakan manajemen media yang baik serta perubahan total atas paradigma masyarakat kita dalam menerima dan memahami media.

B.   SARAN
Ilmu komunikasi sebagai ilmu sosial harus lebih bisa mendarat dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Peningkatan standar pemberitaan dengan meningkatkan persentase berita-berita positif. Dan juga pelaksanaan sosialisasi-sosialisasi tentang literasi media kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. (2013). Integrasi Sains dan Agama: Tinjauan Filsafat Ilmu Kontemporer. Jakarta: Penerbit  Universitas Indonesia (UI Press).
Agus, Bustanuddin. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Andalas dengan Judul: Integrasi Ilmu dan Agama: Urgensi dan Aspek-Aspeknya, diakses dari https://bustanuddinagus.wordpress.com/2015/07/31/integrasi-ilmu-dan-agama/#more-171 pada 2 Desember 2015.
Burhani, Ruslan. Pakar: Pemberitaan Negatif Bisa Sebabkan Gangguan Jiwa, diakses dari http://www.antaranews.com/berita/310121/pakar-pemberitaan-negatif- sebabkan-gangguan-jiwa. 2012.
Cangara, Hafied. (2008). Pengantar Ilmu Komunikasi. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Effendy, Onong Uchyana. (2003). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Littlejohn, Stephen W dan Foss, Karen A. (2008). Theories of Human Communications Ninth Edition. Belmont: Thomson Wadsworth
Saefuddin, Asep. (2008). Perkembangan Teknolgi Komunikasi: Perspektif Komunikasi Peradaban. Jurnal Mediator, Vol. 9 No. 2 Desember 2008.
Suriasumantri, Jujun S. (2010). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan.
Widodo, Yohanes. Membangun Good Image Indonesia melalui Internet: Studi Kasus Good News From Indonesia (GNFI). Makalah yang dipresentasikan pada The 5th International Indonesia Forum 2012: Between the Mountain and the Sea: Positioning Indonesia,Universitas Gadjah Mada and Yale University, 9-10 July 2012.




Sebuah mini paper untuk mata kuliah Falsafah Sosial dan Komunikasi dibawah asuhan Prof. Bustanuddin Agus - 2015.
** Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Andalas.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

KENDALA DAN HAMBATAN SERTA SOLUSI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN*

E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK KEPENTINGAN*

PELET JEPANG!

CORPORATE BRANDING AND CORPORATE REPUTATION