Paradigma dan Perspektif*

Image
Oleh: Fikar Damai Setia Gea A.     Pengertian Paradigma Secara etimologis kata Paradigma bermula pada sejak abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari Bahasa Latin pada tahun 1943 yaitu paradigma   yang berarti suatu model atau pola. Sementara dalam Bahasa Yunani berasal dari kata paradeigma (para+deignunai) yang berarti untuk “membandingkan”, “bersebelahan” (para) dan “memperlihatkan” (deik). Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama khususnya dalam disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa pengertian paradigma menurut pada ahli adalah sebagai berikut: Pengertian paradigma menurut Patton (1975) : “A world view, a general perspective, a way of   breaking down of the complexity of the real world” (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata) . Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs (197

Paradigma Dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Thomas S. Khun)*

Oleh: Fikar Damai Setia Gea

A.    Pengantar

Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi), paradigma positivisme telah mendominasi bidang ini selama berpuluh-puluh tahun. Namun dalam perkembangan filsafat ilmu pengetahuan pada beberapa dekade terakhir telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal ini merupakan pemberontakan terhadap paradigma positivisme oleh Thomas Khun dan juga yang dilakukan oleh Karl Raimund Popper, Paul Feyerabend, atau Stephen Toulmin.

Gagasan Khun sangat radikal dan memberi sumbangan besar bagi post-positivisme dan epistemologi post-modern dengan pluralisme paradigma ilmiahnya. Seorang ilmuwan, menurut Khun, harus ahli dalam bidangnya, kalau tidak, tidak akan berhasil memecahkan teka-teki yang dihadapinya. Ilmuwan harus jelas melihat ‘jaringan’ antara konseptual teoritis, instrumental, metodologis yang semuanya merupakan pertautan yang dibutuhkan bagi pemecahan teka-teki untuk program riset ilmu pengetahuan norma selanjutnya.

Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model filsafat yang terdahulu adalah perhatian besar terhadap sejarah ilmu dan filsafat sains. Peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi. Bagi Kuhn sejarah ilmu merupakan starting point dan kaca mata utama dalam menyoroti permasalahan-permasalahan fundamental dalam epistemologi, yang selama ini masih menjadi teka-teki.

Perkembangan dan khususnya perubahan ilmu pengetahuan menurut Khun tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris melalui proses falsifikasi satu teori atau sistem, melainkan terjadi melalui satu perubahan yang sangat mendasar atau melalui suatu revolusi ilmiah. Khun menegaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui revolusi ilmiah, dan revolusi ilmiah terjadi lewat perubahan paradigma.

Revolusi ilmiah adalah perubahan yang drastis yang terjadi dalam tahapan perkembangan ilmu pengetahuan. Perubahan paradigma itu bisa terjadi secara sebagian atau secara keseluruhan oleh paradigma baru. Namun, yang jelas ialah pergantian paradigma ilmiah akan mengakibatkan munculnya perbedaan yang sangat mendasar antara paradigma lama dengan paradigma baru (yang menggantikannya). Dengan demikian, jelas perkembangan ilmu pengetahuan terjadi melalui lompatan-lompatan yang radikal dan revolusioner dengan pergantian paradigma.

 

 

 

B.     Sekilas Tentang Paradigma Positivisme

Sebelum kita masuk kepada pemahaman paradigma yang digagas oleh Thomas Khun, ada baiknya sekilas dibahas pula tentang paradigma positivisme yang sudah lama mendominasi wajah ilmu pengetahuan yang ditolak oleh Khun itu.

Paradigma positivisme merupakan perkembangan dari pemikiran Auguste Comte dalam karyanya yang berjudul Course de Philosophie (Course in Positive Philosophie). Terpengaruh oleh pandangan empirisme (yang hanya mengakui fakta yang dapat diamati sebagai sumber ilmu pengetahuan), lalu menolak unsur-unsur psikologis dan metafisis memasuki wilayah ilmu pengetahuan. Comte (positivisme) mencoba untuk membebaskan klaim-klaim metafisik dari ilmu pengetahuan. Fakta lalu dilihat berbeda dengan nilai; fakta dapat dipisahkan dari nilai-nilai. Positivisme Comte hanya menerima pengetahuan faktual, fakta positif yaitu fakta yang terlepas dari kedasaran individu.

Ajaran dasar positivisme antara lain:

1)      Dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui.

2)      Penyebab adanya benda-benda dalam alam (hal yang bersifat metafisis) tidak dapat diketahui (bandingkan dengan teori evolusi Darwin) karena ilmuwan tidak dapat melihat penyebab itu.

3)      Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal.

4)      Hanya hubungan antara fakta-fakta saja yang dapat diketahui (hal-hal yang bersifat positivis).

5)      Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial.

Adapun prosedur penelitian empiris-eksperimental Comte (Positivisme) dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)      Observasi; meneliti dan mencari hubungan antara fakta-fakta, lalu meninjaunya dari hukum statika dan dinamika. Dari observasi dapat dirumuskan hipotesis yang akan dibuktikan melalui penelitian.

2)      Eksperimen; fenomena sosial dengan cara tertentu diintervensi oleh cara tertentu, sehingga dengan demikian dapat dijelaskan sebab-akibat fenomena masyarakat dan mendapat pemahaman tentang bagaimana masyarakat yang normal.

3)      Perbandingan (komparasi); dalam sosiologi studi komparatif bisa dilakukan antara dua masyarakat/kebudayaan (studi antropologi) atau antara dua periode dalam masyarakat tertentu (sosiologi historis).

Comte menganggap bahwa penginderaan dan akal budi manusia sama dimana saja dan perkembangannya dikuasai oleh hukum universal (tahap-tahap) yang sama pula. Proses perkembangan akal budi sejajar dengan tahap perkembangan masyarakat. Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan masyarakat (kebudayaan dan ilmu pengetahuan) yang menurutnya berlaku universal, sebagai berikut:

Pertama adalah tahap teologis. Pada tahap ini manusia mencari sebab pertama atau tujuan akhir dari segala sesuatu. Dalam semua peristiwa alam diyakini bahwa ada kekuatan supernatural/adikodrati yang mengatur dan menyebabkan segala gejala alam. Semua permasalahan dan jawaban terhadap pertanyaan fenomena alam dikembalikan pada kepercayaan teologis yang menurut Comte sendiri meliputi tiga tahapan; a). Fetisisme/animisme, b). Politeisme, dan c). Monoteisme. Tahap ini mulai mengalami krisis (mulai redup) dengan munculnya Renaisans.

Kedua adalah tahap metafisis. Tahap ini dapat dikatakan merupakan modifikasi dari tahap teologis, namun pada tahap ini kekuatan dewa-dewa kini diganti oleh entitas metafisik (substansi, esensi, roh, ide) yang dianggap ada pada setiap benda. Pada tahap ini manusia merumuskan jawaban atas fenomena alam dengan mencari sebab-sebab pertama dan tujuan akhir. Penjelasan rasional/spekulatif berupa abstraksi adalah metode yang diandalkan untuk menemukan hakikat atau substansi dari segala sesuatu yang metafisis itu. Meskipun zaman ini sudah jauh lebih maju dari zaman sebelumnya, akan tetapi bagi Comte ilmu pengetahuan masih terbelenggu oleh konsep-konsep filsafat yang abstrak-universal. Antara tahun 1300-1800 (Renaisans, Reformasi dan Revolusi Prancis) dianggap sebagai masa transisi ke tahap positivisme (modern).

Ketiga adalah tahap positif. Tahap ini adalah tahap berpikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan. Comte berpendapat bahwa tahap positivis(-me) ini merupakan puncak perkembangan tahap pemikiran umat manusia. Positivisme diartikan sebagai segala sesuatu yang nyata, yang jelas, yang pasti dan bermanfaat.

Dari penjelasan-penjelasan di atas maka dapat dirumuskan asumsi-asumsi yang terkandung dalam paradigma positivisme itu sebagai berikut:

Ø  Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah untuk menemukan hukum-hukum pada fenomena sosial. Pandangan esensialisme tentang realitas sebagai fakta yang dapat dibuktikan secara empiris.

Ø  Manusia adalah makhluk rasional dan individu yang mempunyai ciri seperti ‘binatang’ (mekanistis). Tindakan individu adalah tindakan yang determinis.

Ø  Ilmu pengetahun berbeda dan lebih superior dari bentuk pengetahuan yang lain. Penjelasan ilmiah berupa perumusan hukum sebagai hasil penalaran deduktif atau deduktif-nomologis.

Ø  Penjelasan ilmiah terbuka untuk dibuktikan oleh peneliti lainnya. Ilmu pengetahuan sosial memerlukan pembuktian yang disepakati oleh komunitas ilmuwan.

Ø  Orientasi instrumental dalam ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh perspektif teknokratis yang ada dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai dan objektif.

Namun demikian, pandangan positivisme ini disebut sebagai ‘paradigma lama’ dan mengandung beberapa kelemahan, sebagai berikut:

1)      Positivisme telah mereduksi realitas pada fakta yang teramati dan ini telah menyingkirkan dimensi dan perspektif lain (dimensi subjek). Positivisme juga memandang manusia hanya sebagai objek. Pandangan positivisme ini tidak dapat dibenarkan.

2)      Positivisme tidak mengakui sifat kontingensi, relativitas dan historitas pikiran (rasio) manusia. Dalam hal ini pendukung positivisme memosisikan diri sebagai Tuhan melihat realitas dengan transparan apa adanya. Pandangan ini ditolak oleh pendukung paradigma konstruktivis seperti Gadamer, Heidegger, Kuhn, Rorty dan tokoh lainnya dengan mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas, makhluk historis, sehingga tidak mampu melihat realitas dengan transparan dan holistik.

3)      Pandangan positivisme tentang keseragaman serta kesatuan hukum alam (grand theory) tidak mampu menjelaskan keberadaan budaya dan keunikan manusia.

4)      Kepercayaan positivisme bahwa ilmu pengetahuan akan membawa pada kemajuan ternyata disisi lain juga menimbulkan hal-hal yang negatif bagi kehidupan (seperti persaingan senjata/perang, kesenjangan antara negara kaya dan miskin, penyalahgunaan nuklir, dan lain-lain).

 

C.    Thomas Samuel Khun

Thomas Samuel Khun lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio dan meninggal 17 Juni 1996 di Cambridge, Massachusets USA. Khun menyelesaikan studi doktornya dalam ilmu pasti-alam di Harvard dan University of California di Berkeley. Pada tahun 1964-1976 Khun mengajar pada Universitas Princeton, dan dari tahun 1979-1991 ia bertugas di Massachusets Institute of Technology. Karyanya yang paling terkenal adalah The Structure of Scientific Revolution (1962) dan The Essential Tension: Selected Studies in Scientific Tradition and Change (1977). Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton (1964-1979). Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991.

Karya Khun The Structure of Scientific Revolution dianggap sebagai karya monumental mengenai perkembangan sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan dengan menemukan konsep paradigma sebagai konsep sentral. Karya ini ditulis Khun ketika dia hampir menyelesaikan disertasinya di bidang fisika teoretis. Keterlibatannya dengan kuliah eksperimental mengenai ilmu fisika pada akhirnya membawanya pada suatu kekaguman dan kesimpulan bahwa “teori dan praktek ilmiah yang telah usang” sesungguhnya secara radikal telah merobohkan sebagian konsepsi dasarnya tentang sifat ilmu pengetahuan dan alasan keberhasilannya yang sitimewa.

 

D.    Paradigma

Khun mengemukakan konsep paradigma sebagai berikut: Paradigma adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu. Mendefinisikan apa yang harus diteliti dan dibahas, pertanyaan apa yang harus dimunculkan, bagaimana merumuskan pertanyaannya, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawabannya. Paradigma adalah konsep terluas dalam dunia ilmiah yang berfungsi membedakan satu komunitas ilmiah dengan komunitas lainnya. Paradigma berkaitan dengan pendefinisian, eksemplar ilmiah, teori, metode serta instrumen yang tercakup di dalamnya.

Secara umum Khun mengartikan paradigma sebagai: beberapa contoh praktik ilmiah aktual yang diterima seperti; hukum, teori, aplikasi dan instrumen yang diterima bersama, sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber dan tradisi-tradisi yang mantap dalam riset-riset ilmiah khusus. Paradigma berarti ‘pola’, ‘model’ atau ‘skema’ dan ‘pemahaman’ aspek-aspek tertentu ihwal realitas (kenyataan) yang dikaji.

Khun menggunakan pengertian paradigma dengan dua puluh satu pengertian yang berbeda-beda. Masterman membantu kita untuk memahami pengertian paradigma Khun tersebut dengan mereduksi kedua puluh satu konsep Khun itu pada tiga tipe paradigma. Tiga tipe paradigma itu antara lain; 1). Paradigma metafisik (metaphysical paradigm), 2). Paradigam sosiologis (sociological paradigm), dan 3). Paradigma konstruk (construc paradigm). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

 

1.      Paradigma Metafisik

Paradigma metafisik merupakan konsensus terluas dalam bidang ilmu yang membantu membatasi bidang (scope) dari satu bidang ilmu, sehingga mengarahkan komunitas ilmuwan dalam melakukan penelitiannya. Paradigma mengandung keyakinan, nilai-nilai serta teknik-teknik dan metode yang digunakan oleh komunitas ilmuwan tertentu. Paradigma metafisik juga mengandung unsur yang disebut Khun ‘eksemplar’ yang pegertiannya lebih luas dari matrik ilmiah. Watson dan Crik memberikan pengertian tentang eksemplar adalah sebagai hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum.

Paradigma metafisik memerankan beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai berikut:

a)      Untuk menentukan masalah ontologi (realitas, objek) yang menjadi fokus atau objek kajian ilmiah dari komunitas ilmuwan tertentu.

b)      Untuk membantu komunitas ilmuwan tertentu bagaimana mereka menemukan realitas atau objek (problem ontologi) yang menjadi pusat perhatiannya.

c)      Untuk membantu ilmuwan untuk menemukan teori dan penjelasan tentang objek yang diteliti sesuai dengan padangan a) dan b).

 

2.      Paradigma Sosiologi

Pengertian yang dikemukakan Masterman tentang paradigma sosiologi ini mirip dengan eksemplar pada Khun. Eksemplar berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, keputusan-keputusan dan aturan serta hasil penelitian yang diterima secara umum. Hasil penelitian yang diterima secara umum inilah yang dimaksud dengan  eksemplar.

Misalnya penelitian Durkheim, Max Weber dan Alfred Schults dalam sosiologi; Freud, Skinner dan Maslow dalam psikologi, yang hasil penelitian ini kemudian dijadikan contoh penelitian oleh pendukung paradigma tersebut. Durkehim menjadi contoh bagi paradigma fakta sosial, sedangkan Max Weber dengan sosial-action-nya menduduki eksemplar bagi sosiologi interpretatif, sehingga mereka disebut sebagai “jembatan paradigma”. Hal yang sama tentu dapat diberikan pada Freud (paradigma psikoanalisa), Skinner (paradigma behavioral) dan Maslow (paradigma humanistik) sebagai “jembatan paradigma” ilmiah dalam psikologi.

 

 

3.      Paradigma Konstruk

Paradigma konstruk adalah konsep yang paling sempit dari ketiga paradigma yang dikemukakan Masterman. Untuk menjelaskan paradigma konstruk, Masterman memberikan contoh pembangunan reaktor nuklir (merupakan paradigma konstruk bagi psikologi eksperimental (behaviorisme)) dan seterusnya.

 

E.     Prinsip Ketidaksepahaman (Incommensurability) dan Kriteria Ilmu dan Non-Ilmu

Sebagai pemikir post-positivisme Khun menerima pluralitas paradigma. Maksudnya ialah setiap paradigma mempunyai aturan dan kriteria kebenaran masing-masing, sehingga satu kriteria paradigma (teori/kebenaran) tertentu tidak bisa dipaksakan untuk menilai paradigma (teori/kebenaran) lainnya. Jadi, prinsip ketidaksepahaman (incommensurability) yaitu aturan dan kriteria antar satu paradigma dengan paradigma lain tidak sepadan atau tak terbandingkan (lantaran tak ada satu pengertian atau kriteria umum yang sama-sama diterima oleh pelbagai paradigma).

Berkaitan dengan perbedaan antara ilmu dan non-ilmu merupakan salah satu hal yang ditentang oleh Khun dari paradigma positivisme. Khun berpendapat bahwa daripada memikirkan kriteria ilmu dan non-ilmu, Khun lebih tertarik untuk mengemukakan sejumlah kriteria dimana satu teori (ilmiah) dianggap lebih baik dari teori yang lainnya. Adapun kriteria tersebut adalah; 1) accuracy, 2) consistency, 3) scope, 4) simplicity, dan 5) fruitfulnees.

Accuracymaksudnya adalah tuntunan agar teori ilmiah harus akurat dalam domain penelitiannya. Consistencyadalah suatu tuntunan agar suatu teori secara internal konsisten dan demikian pula dengan teori lain dalam paradigma yang sama. Scopeadalah mengacu kepada suatu tuntunan agar teori mampu menjelaskan lebih luas dari sekedar yang dikemukakannya. Simplicity adalah sebuah teori harus jelas dan tidak berbelit. Dan fruitfulneesadalah segi kemanfaatan atau kemampuan sebuah teori baru dalam mengidentifikasi fenomena baru atau hubungan yang tidak atau belum diketahui sebelumnya pada fenomena tersebut.

 

Gambar Lima Kriteria Satu Teori Lebih Baik dari

Teori Lain (Saingannya) Menurut Khun


F.     Pergeseran (peralihan) Paradigma

Pergeseran paradigma adalah seperti pergeseran paradigma Aristotelian ke paradigma Copernicusian, Galilean dan Newtonian. Pada awalnya dalam dunia fisika dan astronomi berpandangan bahwa bumi merupakan pusat alam semesta dan matahari, planet dan benada lagit lainnya mengikuti dan mengelilinginya. Ini merupakan pandangan atau paradigma yang ditetapkan oleh Aristoles dan Ptolemeus. Namun dalam perkembangannya muncul paradigma baru tentang astronomi yang digagaskan oleh Copernicus yang menyatakan bahwa bumi bukan pusat alam semesta, bumi, bulan dan planet-planet lainnya justru mengeliling dan mengikuti matahari. Teori Copernicus ini didukung oleh Galileo Galilei dan Newton. Jadi, ada suatu proses peralihan paradigma dari satu bentuk ke bentuk lain terhadap satu kasus yang sama.

Adapun pergeseran paradigma (ilmiah) mengandung beberapa unsur/pengertian. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1)      Munculnya cara berpikir baru mengenai masalah-masalah baru.

2)      Dalam paradigma ada prinsip (asumsi) yang selalu hadir, akan tetapi tidak kita kenal/sadari

3)      Paradigma baru tidak dapat diterapkan kecuali dengan meninggalkan paradigma lama (prinsip incommusurable).

4)      Paradigma baru selalu dihadapi/ditanggapi dengan kecurigaan dan permusuhan.

 

G.    Paradigma Dalam Sosiologi

Menurut George Ritzer, dalam sosiologi setidaknya ada tiga paradigma yang bersaing dengan beberapa varian teori yang dipayunginya. Paradigma itu antara lain; 1) paradigma fakta sosial, 2) paradigma definis sosial dan 3) paradigma perilaku sosial. Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut;

1)      Paradigma Fakta Sosial, paradigma ini dipengaruhi oleh positivisme Auguste Comte yang mendasarkan sosiologi pada fakta yang terobservasi.

2)      Paradigma Perilaku Sosial, memandang manusia sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya sendiri. Paradigma ini mengarahkan perhatiannya kepada bagaimana caranya manusia mengartikan kehidupan sosialnya yang nyata.

3)      Paradigma Perilaku Sosial, paradigma ini adalah penerapan positivisme pada ilmu sosial.

 

H.    Asumsi-Asumsi (Ontologis, Epistemologis dan Metodologis) Paradigma

Paradigma (Bogdan dan Biklen) memahami paradigma sebagai kumpulan dari asumsi-asumsi, konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang dimasukkan secara logis sebagai sarana observasi terhadap gejala-gejala sosial-budaya yang diteliti. Dengan kata lain paradigma memiliki pandangan dunia (ontologi) dan metodologi tertentu. Jadi, pandangan dunia (asumsi ontologis, epistemologis dan metodologis) berpengaruh menentukan bagaimana melihat fenomena dan memilih teori dan metode.

  


Sementara itu, Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln mengemukakan asumsi-asumsi empat paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan yakni:

1)      Paradigma Positivisme

Adapun pandangan ilmiah paradigma positivisme adalah sebagai berikut; mengandung otologis realisme naif, dan asumsi naturalisme yang menyamakan semua realitas (manusia secara prinsip sama dengan binatang). Menerapkan epistemologis dualis dimana subjek harus benar-benar dipisahkan dari objek dan teori. Intinya teori mesti universal dan objektif.

2)      Paradigma Post-Positivisme

Post-positivisme merupakan pemikiran ilmuwan yang umumnya berlatar belakang fisika dan matematika yang mengkritik paradigma positivisme dengan argumen yang berbeda. Asumsi post-positivisme adalah sebagai berikut:

Asumsi ontologis; post-positivisme tidak menolak adanya realitas eksternal, akan tetapi realitas ekternal itu bagi post-positivisme tidak dapat dijelaskan sepenuhnya karena kita tidak dapat melihatnya secara sempurna.

Asumsi epistemologis; kebenaran teori dalam pandangan post-positivisme tidak pernah sempurna karena ilmuwan selalu menghadapi realitas berdasarkan paradigma (Khun), berdasarkan perspektif atau kerangka konseptual tertentu (Putnam).

Asumsi metodologis; post-positivisme memodifikasi metode eksperimental manipulatif dengan ‘pengembangbiakkan kritik’ (critical-multiplism) sebagai upaya memfalsifikasi hipotesis. Paradigma post-positivisme juga melengkapi metode kualitatif dan kuantitatif, namun tetap menempatkan prediksi dan kontrol atas fenomena alam/manusia sebagai tujuan utama ilmu pengetahuan.

3)      Paradigma Teori Kritis

Paradigma teori kritis didasarkan atas pemikiran tokoh Mahzab Frankfurt, pemikiran ilmuwan yang tergabung dalam lingkaran ini ditandai oleh sikap kritis terhadap berbagai aspek kehidupan sosial budaya dan intelektual dengan tujuan utama; mengungkap secara akurat kondisi masyarakat dan ilmu pengetahuan modern. Asumsi-asumsi paradigma teori kritis sebagai berikut:

Asumsi ontologis; teori kritis melihat bahwa problem ontologi dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial budaya, tidak dapat disamakan dengan realitas ilmu-ilmu alam yang sifatnya statis dan tidak tercampuri/terpengaruh oleh faktor sosial budaya.

Asumsi epistemologis; ada saling pengaruh antara peneliti dengan objek (manusia dan budaya) yang diteliti. Objektifitas murni sulit diterapkan, karena nilai-nilai tanpa disadari berperan dalam setiap bidang ilmu.

Asumsi metodologis; dialogis/dialektis (metode hermeneutik). Metode ini mengakui hubungan yang dialogis antara subjek dengan objek yang diteliti (teks, responden). Metode ini memungkinkan adanya berbagai macam konstruksi (interpretasi) atas objek yang diteliti.

4)      Paradigma Konstruktivis

Dalam bentuk yang radikal, paradigma konstruktivis berpendapat bahwa semua aktifitas manusia adalah praktik sosial kontingen yang maknanya dikonstruksi dalam pasang surut interaksi sosial. Paradigma konstruktivis ini memberikan ruang terbuka bagi kaum gender, kajian post-kolonial, kajian etnisitas, kajian seni, kajian bahasa dan  kajian budaya lokal (multikultural). Asumsi paradigma konstruktivis dijelaskan sebagai berikut:

Asumsi ontologis; realitas dipahami bersifat plural (multiple realities) dan berlapis. Asumsi epistemologis; dalam penelitian diasumsikan bahwa antara peneliti dengan objek yang diteliti saling terkait dan interaktif. Dan asumsi metodologis; penelitian tidak berhenti pada fakta material akan tetapi memerlukan kreatifitas dan interpretasi peneliti.

 

I.       Postmodernisme: Pluralitas Paradigma (Kebenaran)

Postmeodernisme merupakan pandangan baru dalam melihat ilmu pengetahuan sehubungan dengan perkembangan teknologi baru/ teknologi informasi. Tokoh sentral dalam paradigma postmodernisme adalah Francois Lyotard dalam karyanya yahg berjudul The Postmodern Condition, A Report on Knowledge. Ilmu pengetahuan modern menurut Lyotard memiliki bentuk kesatuan (unity) yang didasarkan pada metanarasi (metanarrative, grand-narrative), yang menjadi pedoman sekaligus memberi legitimasi dalam berbagai penelitian.

 

*Sebuah Resume


Referensi

1.      Lubis, Akhyar  Yusuf. (2015). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta; Rajawali Pers.


Comments

Popular posts from this blog

KENDALA DAN HAMBATAN SERTA SOLUSI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN*

E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK KEPENTINGAN*

PELET JEPANG!

CORPORATE BRANDING AND CORPORATE REPUTATION

KOMUNIKASI HUMANIS*