Paradigma Dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Thomas S. Khun)*
- Get link
- Other Apps
A.
Pengantar
Dalam
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi),
paradigma positivisme telah mendominasi bidang ini selama berpuluh-puluh tahun.
Namun dalam perkembangan filsafat ilmu pengetahuan pada beberapa dekade
terakhir telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal ini merupakan
pemberontakan terhadap paradigma positivisme oleh Thomas Khun dan juga yang
dilakukan oleh Karl Raimund Popper, Paul Feyerabend, atau Stephen Toulmin.
Gagasan
Khun sangat radikal dan memberi sumbangan besar bagi post-positivisme dan
epistemologi post-modern dengan pluralisme paradigma ilmiahnya. Seorang
ilmuwan, menurut Khun, harus ahli dalam bidangnya, kalau tidak, tidak akan
berhasil memecahkan teka-teki yang dihadapinya. Ilmuwan harus jelas melihat
‘jaringan’ antara konseptual teoritis, instrumental, metodologis yang semuanya
merupakan pertautan yang dibutuhkan bagi pemecahan teka-teki untuk program
riset ilmu pengetahuan norma selanjutnya.
Ciri khas
yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model filsafat yang
terdahulu adalah perhatian besar terhadap sejarah ilmu dan filsafat sains. Peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah
ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi. Bagi Kuhn sejarah ilmu
merupakan starting point dan kaca
mata utama dalam menyoroti permasalahan-permasalahan fundamental dalam
epistemologi, yang selama ini masih menjadi teka-teki.
Perkembangan
dan khususnya perubahan ilmu pengetahuan menurut Khun tidak pernah terjadi
berdasarkan upaya empiris melalui proses falsifikasi satu teori atau sistem,
melainkan terjadi melalui satu perubahan yang sangat mendasar atau melalui
suatu revolusi ilmiah. Khun menegaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang
melalui revolusi ilmiah, dan revolusi ilmiah terjadi lewat perubahan paradigma.
Revolusi
ilmiah adalah perubahan yang drastis yang terjadi dalam tahapan perkembangan
ilmu pengetahuan. Perubahan paradigma itu bisa terjadi secara sebagian atau secara
keseluruhan oleh paradigma baru. Namun, yang jelas ialah pergantian paradigma
ilmiah akan mengakibatkan munculnya perbedaan yang sangat mendasar antara
paradigma lama dengan paradigma baru (yang menggantikannya). Dengan demikian,
jelas perkembangan ilmu pengetahuan terjadi melalui lompatan-lompatan yang
radikal dan revolusioner dengan pergantian paradigma.
B.
Sekilas
Tentang Paradigma Positivisme
Sebelum
kita masuk kepada pemahaman paradigma yang digagas oleh Thomas Khun, ada
baiknya sekilas dibahas pula tentang paradigma positivisme yang sudah lama
mendominasi wajah ilmu pengetahuan yang ditolak oleh Khun itu.
Paradigma
positivisme merupakan perkembangan dari pemikiran Auguste Comte dalam karyanya
yang berjudul Course de Philosophie
(Course in Positive Philosophie). Terpengaruh oleh pandangan empirisme
(yang hanya mengakui fakta yang dapat diamati sebagai sumber ilmu pengetahuan),
lalu menolak unsur-unsur psikologis dan metafisis memasuki wilayah ilmu
pengetahuan. Comte (positivisme) mencoba untuk membebaskan klaim-klaim
metafisik dari ilmu pengetahuan. Fakta lalu dilihat berbeda dengan nilai; fakta
dapat dipisahkan dari nilai-nilai. Positivisme Comte hanya menerima pengetahuan
faktual, fakta positif yaitu fakta yang terlepas dari kedasaran individu.
Ajaran
dasar positivisme antara lain:
1) Dalam
alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui.
2) Penyebab
adanya benda-benda dalam alam (hal yang bersifat metafisis) tidak dapat
diketahui (bandingkan dengan teori evolusi Darwin) karena ilmuwan tidak dapat
melihat penyebab itu.
3) Setiap
pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak
mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal.
4) Hanya
hubungan antara fakta-fakta saja yang dapat diketahui (hal-hal yang bersifat
positivis).
5) Perkembangan
intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial.
Adapun prosedur penelitian
empiris-eksperimental Comte (Positivisme) dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Observasi;
meneliti dan mencari hubungan antara fakta-fakta, lalu meninjaunya dari hukum statika
dan dinamika. Dari observasi dapat dirumuskan hipotesis yang akan dibuktikan
melalui penelitian.
2) Eksperimen;
fenomena sosial dengan cara tertentu diintervensi oleh cara tertentu, sehingga
dengan demikian dapat dijelaskan sebab-akibat fenomena masyarakat dan mendapat
pemahaman tentang bagaimana masyarakat yang normal.
3) Perbandingan
(komparasi); dalam sosiologi studi komparatif bisa dilakukan antara dua
masyarakat/kebudayaan (studi antropologi) atau antara dua periode dalam
masyarakat tertentu (sosiologi historis).
Comte menganggap bahwa penginderaan dan
akal budi manusia sama dimana saja dan perkembangannya dikuasai oleh hukum
universal (tahap-tahap) yang sama pula. Proses perkembangan akal budi sejajar
dengan tahap perkembangan masyarakat. Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan
masyarakat (kebudayaan dan ilmu pengetahuan) yang menurutnya berlaku universal,
sebagai berikut:
Pertama adalah tahap teologis. Pada tahap ini manusia mencari
sebab pertama atau tujuan akhir dari segala sesuatu. Dalam semua peristiwa alam
diyakini bahwa ada kekuatan supernatural/adikodrati yang mengatur dan
menyebabkan segala gejala alam. Semua permasalahan dan jawaban terhadap
pertanyaan fenomena alam dikembalikan pada kepercayaan teologis yang menurut
Comte sendiri meliputi tiga tahapan; a). Fetisisme/animisme, b). Politeisme,
dan c). Monoteisme. Tahap ini mulai mengalami krisis (mulai redup) dengan
munculnya Renaisans.
Kedua adalah tahap metafisis. Tahap ini dapat dikatakan merupakan modifikasi dari
tahap teologis, namun pada tahap ini kekuatan dewa-dewa kini diganti oleh
entitas metafisik (substansi, esensi, roh, ide) yang dianggap ada pada setiap
benda. Pada tahap ini manusia merumuskan jawaban atas fenomena alam dengan
mencari sebab-sebab pertama dan tujuan akhir. Penjelasan rasional/spekulatif
berupa abstraksi adalah metode yang diandalkan untuk menemukan hakikat atau
substansi dari segala sesuatu yang metafisis itu. Meskipun zaman ini sudah jauh
lebih maju dari zaman sebelumnya, akan tetapi bagi Comte ilmu pengetahuan masih
terbelenggu oleh konsep-konsep filsafat yang abstrak-universal. Antara tahun
1300-1800 (Renaisans, Reformasi dan Revolusi Prancis) dianggap sebagai masa
transisi ke tahap positivisme (modern).
Ketiga adalah tahap positif. Tahap ini adalah tahap berpikir real, faktual dan nyata
sebagai dasar pengetahuan. Comte berpendapat bahwa tahap positivis(-me) ini
merupakan puncak perkembangan tahap pemikiran umat manusia. Positivisme
diartikan sebagai segala sesuatu yang nyata, yang jelas, yang pasti dan
bermanfaat.
Dari penjelasan-penjelasan di atas maka
dapat dirumuskan asumsi-asumsi yang terkandung dalam paradigma positivisme itu
sebagai berikut:
Ø Tujuan
ilmu pengetahuan sosial adalah untuk menemukan hukum-hukum pada fenomena
sosial. Pandangan esensialisme tentang realitas sebagai fakta yang dapat
dibuktikan secara empiris.
Ø Manusia
adalah makhluk rasional dan individu yang mempunyai ciri seperti ‘binatang’
(mekanistis). Tindakan individu adalah tindakan yang determinis.
Ø Ilmu
pengetahun berbeda dan lebih superior dari bentuk pengetahuan yang lain.
Penjelasan ilmiah berupa perumusan hukum sebagai hasil penalaran deduktif atau
deduktif-nomologis.
Ø Penjelasan
ilmiah terbuka untuk dibuktikan oleh peneliti lainnya. Ilmu pengetahuan sosial
memerlukan pembuktian yang disepakati oleh komunitas ilmuwan.
Ø Orientasi
instrumental dalam ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh perspektif teknokratis
yang ada dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai dan
objektif.
Namun demikian, pandangan positivisme
ini disebut sebagai ‘paradigma lama’ dan mengandung beberapa kelemahan, sebagai
berikut:
1) Positivisme
telah mereduksi realitas pada fakta yang teramati dan ini telah menyingkirkan
dimensi dan perspektif lain (dimensi subjek). Positivisme juga memandang
manusia hanya sebagai objek. Pandangan positivisme ini tidak dapat dibenarkan.
2) Positivisme
tidak mengakui sifat kontingensi, relativitas dan historitas pikiran (rasio)
manusia. Dalam hal ini pendukung positivisme memosisikan diri sebagai Tuhan
melihat realitas dengan transparan apa adanya. Pandangan ini ditolak oleh
pendukung paradigma konstruktivis seperti Gadamer, Heidegger, Kuhn, Rorty dan
tokoh lainnya dengan mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas,
makhluk historis, sehingga tidak mampu melihat realitas dengan transparan dan
holistik.
3) Pandangan
positivisme tentang keseragaman serta kesatuan hukum alam (grand theory) tidak mampu menjelaskan keberadaan budaya dan
keunikan manusia.
4) Kepercayaan
positivisme bahwa ilmu pengetahuan akan membawa pada kemajuan ternyata disisi
lain juga menimbulkan hal-hal yang negatif bagi kehidupan (seperti persaingan
senjata/perang, kesenjangan antara negara kaya dan miskin, penyalahgunaan
nuklir, dan lain-lain).
C.
Thomas
Samuel Khun
Thomas
Samuel Khun lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio dan meninggal 17 Juni
1996 di Cambridge, Massachusets USA. Khun menyelesaikan studi doktornya dalam
ilmu pasti-alam di Harvard dan University of California di Berkeley. Pada tahun
1964-1976 Khun mengajar pada Universitas Princeton, dan dari tahun 1979-1991 ia
bertugas di Massachusets Institute of Technology. Karyanya yang paling terkenal
adalah The Structure of Scientific
Revolution (1962) dan The Essential
Tension: Selected Studies in Scientific Tradition and Change (1977). Pada tahun
1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton (1964-1979). Kemudian
di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991.
Karya
Khun The Structure of Scientific
Revolution dianggap sebagai karya monumental mengenai perkembangan sejarah
dan filsafat ilmu pengetahuan dengan menemukan konsep paradigma sebagai konsep
sentral. Karya ini ditulis Khun ketika dia hampir menyelesaikan disertasinya di
bidang fisika teoretis. Keterlibatannya dengan kuliah eksperimental mengenai
ilmu fisika pada akhirnya membawanya pada suatu kekaguman dan kesimpulan bahwa
“teori dan praktek ilmiah yang telah usang” sesungguhnya secara radikal telah
merobohkan sebagian konsepsi dasarnya tentang sifat ilmu pengetahuan dan alasan
keberhasilannya yang sitimewa.
D.
Paradigma
Khun
mengemukakan konsep paradigma sebagai berikut: Paradigma adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu.
Mendefinisikan apa yang harus diteliti dan dibahas, pertanyaan apa yang harus
dimunculkan, bagaimana merumuskan pertanyaannya, dan aturan-aturan apa yang
harus diikuti dalam menginterpretasikan jawabannya. Paradigma adalah konsep
terluas dalam dunia ilmiah yang berfungsi membedakan satu komunitas ilmiah
dengan komunitas lainnya. Paradigma berkaitan dengan pendefinisian, eksemplar
ilmiah, teori, metode serta instrumen yang tercakup di dalamnya.
Secara
umum Khun mengartikan paradigma sebagai: beberapa contoh praktik ilmiah aktual yang
diterima seperti; hukum, teori, aplikasi dan instrumen yang diterima bersama,
sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber dan tradisi-tradisi yang
mantap dalam riset-riset ilmiah khusus. Paradigma berarti ‘pola’, ‘model’ atau
‘skema’ dan ‘pemahaman’ aspek-aspek tertentu ihwal realitas (kenyataan) yang
dikaji.
Khun
menggunakan pengertian paradigma dengan dua puluh satu pengertian yang
berbeda-beda. Masterman membantu kita untuk memahami pengertian paradigma Khun
tersebut dengan mereduksi kedua puluh satu konsep Khun itu pada tiga tipe
paradigma. Tiga tipe paradigma itu antara lain; 1). Paradigma metafisik (metaphysical paradigm), 2). Paradigam
sosiologis (sociological paradigm),
dan 3). Paradigma konstruk (construc
paradigm). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Paradigma
Metafisik
Paradigma metafisik merupakan konsensus
terluas dalam bidang ilmu yang membantu membatasi bidang (scope) dari satu bidang ilmu, sehingga mengarahkan komunitas
ilmuwan dalam melakukan penelitiannya. Paradigma mengandung keyakinan,
nilai-nilai serta teknik-teknik dan metode yang digunakan oleh komunitas
ilmuwan tertentu. Paradigma metafisik juga mengandung unsur yang disebut Khun
‘eksemplar’ yang pegertiannya lebih luas dari matrik ilmiah. Watson dan Crik
memberikan pengertian tentang eksemplar adalah sebagai hasil penemuan ilmu
pengetahuan yang diterima secara umum.
Paradigma metafisik memerankan beberapa
fungsi, diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Untuk
menentukan masalah ontologi (realitas, objek) yang menjadi fokus atau objek
kajian ilmiah dari komunitas ilmuwan tertentu.
b) Untuk
membantu komunitas ilmuwan tertentu bagaimana mereka menemukan realitas atau
objek (problem ontologi) yang menjadi pusat perhatiannya.
c) Untuk
membantu ilmuwan untuk menemukan teori dan penjelasan tentang objek yang
diteliti sesuai dengan padangan a) dan b).
2.
Paradigma
Sosiologi
Pengertian yang dikemukakan Masterman
tentang paradigma sosiologi ini mirip dengan eksemplar pada Khun. Eksemplar
berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, keputusan-keputusan dan aturan serta
hasil penelitian yang diterima secara umum. Hasil penelitian yang diterima
secara umum inilah yang dimaksud dengan
eksemplar.
Misalnya penelitian Durkheim, Max Weber
dan Alfred Schults dalam sosiologi; Freud, Skinner dan Maslow dalam psikologi,
yang hasil penelitian ini kemudian dijadikan contoh penelitian oleh pendukung
paradigma tersebut. Durkehim menjadi contoh bagi paradigma fakta sosial,
sedangkan Max Weber dengan sosial-action-nya
menduduki eksemplar bagi sosiologi interpretatif, sehingga mereka disebut
sebagai “jembatan paradigma”. Hal yang sama tentu dapat diberikan pada Freud
(paradigma psikoanalisa), Skinner (paradigma behavioral) dan Maslow (paradigma
humanistik) sebagai “jembatan paradigma” ilmiah dalam psikologi.
3.
Paradigma
Konstruk
Paradigma
konstruk adalah konsep yang paling sempit dari ketiga paradigma yang
dikemukakan Masterman. Untuk menjelaskan paradigma konstruk, Masterman
memberikan contoh pembangunan reaktor nuklir (merupakan paradigma konstruk bagi
psikologi eksperimental (behaviorisme)) dan seterusnya.
E.
Prinsip
Ketidaksepahaman (Incommensurability)
dan Kriteria Ilmu dan Non-Ilmu
Sebagai
pemikir post-positivisme Khun menerima pluralitas paradigma. Maksudnya ialah
setiap paradigma mempunyai aturan dan kriteria kebenaran masing-masing,
sehingga satu kriteria paradigma (teori/kebenaran) tertentu tidak bisa
dipaksakan untuk menilai paradigma (teori/kebenaran) lainnya. Jadi, prinsip ketidaksepahaman
(incommensurability) yaitu aturan dan
kriteria antar satu paradigma dengan paradigma lain tidak sepadan atau tak
terbandingkan (lantaran tak ada satu pengertian atau kriteria umum yang
sama-sama diterima oleh pelbagai paradigma).
Berkaitan
dengan perbedaan antara ilmu dan non-ilmu merupakan salah satu hal yang
ditentang oleh Khun dari paradigma positivisme. Khun berpendapat bahwa daripada
memikirkan kriteria ilmu dan non-ilmu, Khun lebih tertarik untuk mengemukakan
sejumlah kriteria dimana satu teori (ilmiah) dianggap lebih baik dari teori
yang lainnya. Adapun kriteria tersebut adalah; 1) accuracy, 2) consistency,
3) scope, 4) simplicity, dan 5) fruitfulnees.
Accuracymaksudnya adalah
tuntunan agar teori ilmiah harus akurat dalam domain penelitiannya. Consistencyadalah suatu tuntunan agar
suatu teori secara internal konsisten dan demikian pula dengan teori lain dalam
paradigma yang sama. Scopeadalah
mengacu kepada suatu tuntunan agar teori mampu menjelaskan lebih luas dari
sekedar yang dikemukakannya. Simplicity
adalah sebuah teori harus jelas dan tidak berbelit. Dan fruitfulneesadalah segi kemanfaatan atau kemampuan sebuah teori
baru dalam mengidentifikasi fenomena baru atau hubungan yang tidak atau belum
diketahui sebelumnya pada fenomena tersebut.
Gambar
Lima Kriteria Satu Teori Lebih Baik dari
Teori
Lain (Saingannya) Menurut Khun
F.
Pergeseran
(peralihan) Paradigma
Pergeseran
paradigma adalah seperti pergeseran paradigma Aristotelian ke paradigma
Copernicusian, Galilean dan Newtonian. Pada awalnya dalam dunia fisika dan
astronomi berpandangan bahwa bumi merupakan pusat alam semesta dan matahari,
planet dan benada lagit lainnya mengikuti dan mengelilinginya. Ini merupakan
pandangan atau paradigma yang ditetapkan oleh Aristoles dan Ptolemeus. Namun
dalam perkembangannya muncul paradigma baru tentang astronomi yang digagaskan
oleh Copernicus yang menyatakan bahwa bumi bukan pusat alam semesta, bumi,
bulan dan planet-planet lainnya justru mengeliling dan mengikuti matahari.
Teori Copernicus ini didukung oleh Galileo Galilei dan Newton. Jadi, ada suatu
proses peralihan paradigma dari satu bentuk ke bentuk lain terhadap satu kasus
yang sama.
Adapun
pergeseran paradigma (ilmiah) mengandung beberapa unsur/pengertian. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Munculnya
cara berpikir baru mengenai masalah-masalah baru.
2) Dalam
paradigma ada prinsip (asumsi) yang selalu hadir, akan tetapi tidak kita kenal/sadari
3) Paradigma
baru tidak dapat diterapkan kecuali dengan meninggalkan paradigma lama (prinsip
incommusurable).
4) Paradigma
baru selalu dihadapi/ditanggapi dengan kecurigaan dan permusuhan.
G.
Paradigma
Dalam Sosiologi
Menurut
George Ritzer, dalam sosiologi setidaknya ada tiga paradigma yang bersaing
dengan beberapa varian teori yang dipayunginya. Paradigma itu antara lain; 1)
paradigma fakta sosial, 2) paradigma definis sosial dan 3) paradigma perilaku
sosial. Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut;
1) Paradigma
Fakta Sosial, paradigma ini dipengaruhi oleh positivisme Auguste Comte yang
mendasarkan sosiologi pada fakta yang terobservasi.
2) Paradigma
Perilaku Sosial, memandang manusia sebagai orang yang aktif menciptakan
kehidupan sosialnya sendiri. Paradigma ini mengarahkan perhatiannya kepada
bagaimana caranya manusia mengartikan kehidupan sosialnya yang nyata.
3) Paradigma
Perilaku Sosial, paradigma ini adalah penerapan positivisme pada ilmu sosial.
H.
Asumsi-Asumsi
(Ontologis, Epistemologis dan Metodologis) Paradigma
Paradigma
(Bogdan dan Biklen) memahami paradigma sebagai kumpulan dari asumsi-asumsi,
konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang dimasukkan secara logis sebagai
sarana observasi terhadap gejala-gejala sosial-budaya yang diteliti. Dengan
kata lain paradigma memiliki pandangan dunia (ontologi) dan metodologi
tertentu. Jadi, pandangan dunia (asumsi ontologis, epistemologis dan
metodologis) berpengaruh menentukan bagaimana melihat fenomena dan memilih
teori dan metode.
Sementara itu, Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln mengemukakan asumsi-asumsi empat paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan yakni:
1)
Paradigma
Positivisme
Adapun
pandangan ilmiah paradigma positivisme adalah sebagai berikut; mengandung
otologis realisme naif, dan asumsi naturalisme yang menyamakan semua realitas
(manusia secara prinsip sama dengan binatang). Menerapkan epistemologis dualis
dimana subjek harus benar-benar dipisahkan dari objek dan teori. Intinya teori
mesti universal dan objektif.
2)
Paradigma
Post-Positivisme
Post-positivisme
merupakan pemikiran ilmuwan yang umumnya berlatar belakang fisika dan
matematika yang mengkritik paradigma positivisme dengan argumen yang berbeda.
Asumsi post-positivisme adalah sebagai berikut:
Asumsi
ontologis; post-positivisme tidak menolak adanya realitas eksternal, akan
tetapi realitas ekternal itu bagi post-positivisme tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya karena kita tidak dapat melihatnya secara sempurna.
Asumsi
epistemologis; kebenaran teori dalam pandangan post-positivisme tidak pernah
sempurna karena ilmuwan selalu menghadapi realitas berdasarkan paradigma
(Khun), berdasarkan perspektif atau kerangka konseptual tertentu (Putnam).
Asumsi
metodologis; post-positivisme memodifikasi metode eksperimental manipulatif
dengan ‘pengembangbiakkan kritik’ (critical-multiplism)
sebagai upaya memfalsifikasi hipotesis. Paradigma post-positivisme juga
melengkapi metode kualitatif dan kuantitatif, namun tetap menempatkan prediksi
dan kontrol atas fenomena alam/manusia sebagai tujuan utama ilmu pengetahuan.
3)
Paradigma
Teori Kritis
Paradigma
teori kritis didasarkan atas pemikiran tokoh Mahzab Frankfurt, pemikiran
ilmuwan yang tergabung dalam lingkaran ini ditandai oleh sikap kritis terhadap
berbagai aspek kehidupan sosial budaya dan intelektual dengan tujuan utama;
mengungkap secara akurat kondisi masyarakat dan ilmu pengetahuan modern.
Asumsi-asumsi paradigma teori kritis sebagai berikut:
Asumsi
ontologis; teori kritis melihat bahwa problem ontologi dalam ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu sosial budaya, tidak dapat disamakan dengan realitas ilmu-ilmu
alam yang sifatnya statis dan tidak tercampuri/terpengaruh oleh faktor sosial
budaya.
Asumsi
epistemologis; ada saling pengaruh antara peneliti dengan objek (manusia dan
budaya) yang diteliti. Objektifitas murni sulit diterapkan, karena nilai-nilai
tanpa disadari berperan dalam setiap bidang ilmu.
Asumsi
metodologis; dialogis/dialektis (metode hermeneutik). Metode ini mengakui
hubungan yang dialogis antara subjek dengan objek yang diteliti (teks,
responden). Metode ini memungkinkan adanya berbagai macam konstruksi
(interpretasi) atas objek yang diteliti.
4)
Paradigma
Konstruktivis
Dalam
bentuk yang radikal, paradigma konstruktivis berpendapat bahwa semua aktifitas
manusia adalah praktik sosial kontingen yang maknanya dikonstruksi dalam pasang
surut interaksi sosial. Paradigma konstruktivis ini memberikan ruang terbuka
bagi kaum gender, kajian post-kolonial, kajian etnisitas, kajian seni, kajian
bahasa dan kajian budaya lokal
(multikultural). Asumsi paradigma konstruktivis dijelaskan sebagai berikut:
Asumsi
ontologis; realitas dipahami bersifat plural (multiple realities) dan berlapis. Asumsi epistemologis; dalam
penelitian diasumsikan bahwa antara peneliti dengan objek yang diteliti saling
terkait dan interaktif. Dan asumsi metodologis; penelitian tidak berhenti pada
fakta material akan tetapi memerlukan kreatifitas dan interpretasi peneliti.
I.
Postmodernisme:
Pluralitas Paradigma (Kebenaran)
Postmeodernisme
merupakan pandangan baru dalam melihat ilmu pengetahuan sehubungan dengan
perkembangan teknologi baru/ teknologi informasi. Tokoh sentral dalam paradigma
postmodernisme adalah Francois Lyotard dalam karyanya yahg berjudul The Postmodern Condition, A Report on
Knowledge. Ilmu pengetahuan modern menurut Lyotard memiliki bentuk kesatuan
(unity) yang didasarkan pada metanarasi (metanarrative, grand-narrative), yang
menjadi pedoman sekaligus memberi legitimasi dalam berbagai penelitian.
*Sebuah Resume
Referensi
1. Lubis,
Akhyar Yusuf. (2015). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta;
Rajawali Pers.
- Get link
- Other Apps
Comments
Post a Comment