Oleh. Fikar Damai Setia Gea
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kasus
lumpur Lapindo merupakan salah satu permasalahan yang sangat kompleks dan pelik
yang pernah terjadi di Indonesia. Hal ini terjadi karena menyita begitu besar
perhatian masyarakat (nasional dan internasional) dan sangat menguras banyak
energi untuk menanganinya. Bagaimana tidak, sejak terjadinya kasus lumpur
Lapindo pada tanggal 29 Mei 2006 hingga berakhirnya dua periode pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono dan memasuki era baru pemerintahan Joko Widodo pada
tahun 2014 kasus ini masih belum selesai juga.
Berdasarkan
data dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, dalam satu tahun saja sejak
terjadi semburan lumpur kerugian ekonomi makro yang diderita mencapai Rp.28,3
trilyun. BPK yang bekerjasama dengan Universitas Brawijaya Malang
memprediksikan besar kerugian dari dampak terjadinya lumpur Lapindo dari tahun
2006-2015, yaitu; kerugian biaya ekonomi langsung yaitu biaya yang terjadi di
wilayah yang tergenang lumpur (direct
damage) sebesar Rp.19,89 triliyun dan kerugian ekonomi tidak langsung yaitu
hilangnya pendapatan, kenaikan biaya dan kehilangan aset di wilayah yang tidak
terkena genangan lumpur sebesar Rp.7,4 triliyun. Wilayah yang dimaksud mulai
sekitar wilayah genangan sampai wilayah terjauh dimana dampak ekonominya masih
dirasakan (BPK. 2007:21).
Semburan
lumpur lapindo terus menerus menyembur dan tidak ada yang bisa memperkirakan
kapan akan berhenti. Davies Mathias seorang geolog (dalam Novenanto.2015:3)
mengatakan bahwa lumpur lapindo mungkin akan terus menyembur dengan volume yang
sama hingga tiga dekade ke depan dan terus menyembur dengan volume yang semakin
kecil hingga ratusan tahun yang akan datang. Sementara itu, tanah di sekitar
semburan terus mengalami amblesan yang mengakibatkan degradasi kualitas tanah
di wilayah yang lebih luas lagi.
Kini,
luapan lumpur Lapindo telah mengakibatkan pengosongan wilayah yang mencakup 15
(lima belas) desa/kelurahan di tiga kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, yang
merupakan hunian bagi lebih dari 150.000 penduduk. Kelima belas desa/kelurahan
itu adalah: Gempolsari, Kedungbendo,Kalitengah, dan Ketapang di Kecamatan
Tanggulangin; Renokenongo, Glagaharum, Siring, Gedang, Jatirejo, Mindi, dan
Porong di Kecamatan Porong; serta Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki di
Kecamatan Jabon. Para penduduk harus mencari hunian baru dan membuka lembaran
baru kehidupannya, bersamaan dengan itu mereka juga harus mengatasi perasaan
kehilangan tanah yang terbenam lumpur (Wikipedia.com).
Diluar
begitu banyak kasus akibat dampak dari semburan lumpur di Sidoarjo ini,
permasalahan yang paling mencuri perhatian publik adalah pembayaran kompensasi
atau dana talangan untuk ganti rugi korban terdampak lumpur Lapindo. Namun, apa
yang terjadi ialah PT Minarak Lapindo Jaya yang merupakan
anak perusahaan PT. Lapindo Brantas Inc. yang didirikan untuk membayarkan ganti
rugi korban, sejak Januari 2013 menyatakan bahwa mereka tidak sanggup lagi
membayar sisa dana kompensasi yang masih belum terbayar kepada masyarakat
korban umpur Lapindo. Jumlah ganti rugi yang belum dibayarkan PT Minarak Lapindo
Jaya sebesar Rp 786 miliar untuk pembelian aset masyarakat di tiga desa yang
masuk dalam peta wilayah yang terdampak luapan lumpur, yaitu Desa Besuki, Desa
Kedungcangkring, Desa Pejarakan (BBC.com).
Kondisi ini menjadi
dilematis ketika negara harus bertanggungjawab atas kemaslahatan seluruh rakyat
yang ada di wilayah Indonesia namun disisi lain ada peraturan dan
perundang-udangan yang membatasi. Keberadaan masyarakat di tiga desa yang masih
belum terbayarkan dana kompensasinya ini menjadi tanggungjawab pemerintah untuk
memberi solusi. Akan tetapi, hasil Keputusan Makamah Konstitusi pada tahun 2012
mengabulkan uji materi korban semburan lumpur Sidoarjo di area peta terdampak.
Dalam keputusan MK tanggung jawab untuk membayar ganti rugi kepada masyarakat
yang berada di area terdampak luapan lumpur, menjadi tanggung jawab PT. Minarak
Lapindo Jaya, dan bukan negara melalui APBN.
Dalam hal inilah pemerintah diuji bagaimana
mencari solusi dimana pemerintah tidak melepas begitu saja PT. Minarak Lapindo Jaya sebagai pihak yang
bertanggungjawab terhadap korban dan disisi lain juga mempunyai tanggungjawab
moral kepada masyarakat. Melalui APBN Perubahan
2015, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp.827 milyar untuk menalangi
kekurangan pembayaran MLJ pada korban. Dana APBN itu sifatnya bukanlah bantuan
(bail out), melainkan pinjaman bersyarat dan Lapindo berkewajiban
mengembalikannya. Sebelum mencairkan dana itu, pemerintah harus mendapatkan
jaminan dari Lapindo berupa seluruh berkas tanah “dalam peta” yang akan diambil
alih pemerintah bila Lapindo tidak dapat mengembalikan dana pinjaman itu dalam
kurun empat tahun.
Ini
merupakan sebuah kebijakan politik yang sangat ditunggu-tunggu begitu lama
orang masyarakat Porong, Sidoarjo, yaitu keterlibatan Pemerintah dalam
penanganan kasus semburan lumpur Lapindo tanpa harus melupakan tanggungjawab
perusahaan yang menyebabkan semburan lumpur itu sendiri. Meskipun langkah
pemerintahan Joko Widodo ini dinilai tidak tepat, melanggar aturan dan memiliki
kepentingan-kepentingan tersembunyi di dalamnya, namun setidaknya ini
memberikan isyarat bahwa pemerintah peduli terhadap permasalahan rakyat dan
tidak membiarkan krisis berlama-lama bergulir di tengah-tengah masyarakat.
B.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah melihat bagaimana pemerintah Joko Widodo yang
tanggap dan sigap terhadap krisis dan melihat strategi pemerintah dalam
menangani krisis untuk reputasi negara.
C.
Manfaat
Penulisan
Manfaat
penulisan ini adalah menjadi salah satu referensi bagi organisasi dan
pemerintah (daerah) dalam menyikapi krisis dan mempertahankan reputasi
organisasi atau pemerintah.
II.
STRATEGI
MENGHADAPI KRISIS ALA PRESIDEN JOKOWI
A.
Negara
dalam Lingkaran Krisis
Pasca terjadinya semburan lumpur Lapindo muncul pula
berbagai ekses yang mencakup berbagai bidang, kalangan bahkan menjadi
perbicangan internasional. Pada awalnya pemerintah SBY-JK yang pada saat itu
sedang berkuasa menghadapi setidaknya dua masalah sekaligus, yaitu: pertama, menghentikan
semburan lumpur panas dan menyalurkan atau membuang genangan lumpur. Kedua, menangani dampak sosial dan
ekonomi, baik dalam memulihkan atau membangun kembali infrastruktur dan sarana
umum yang rusak akibat luberan lumpur maupun dalam menangani masalah-masalah
sosial yang didalamnya terdapat keharusan untuk memberikan kompensasi yang
sepadan bagi warga yang terkena genangan.
Namun seiring waktu, permasalahan atau krisis
lanjutan pasca semburan lumpur Lapindo sejak pertama kali pada tanggal 29 Mei
2006 tidak berhenti sampai disitu, akan tetapi berkembang menjadi isu-isu
hangat lainnya yang diarahkan ke dalam berbagai kepentingan-kepentingan. Dalam
tulisan ini setidaknya diungkapkan beberapa krisis serius yang dihadapi
pemerintah adalah:
1.
Krisis di masyarakat akibat kehilangan
tanah dan rumah.
Luapan lumpur Lapindo
telah memaksa warga untuk meninggalkan kampung halamannya, ribuan warga
kehilangan rumah, kehilangan mata pencaharian dan mereka hidup dalam kecemasan,
kekhawatiran dan ketakutan. Dalam keadaan seperti ini masyarakat sedang berada
pada jalur menuju kepada kemiskinan. Hal ini adalah sesungguhnya yang sangat
penting untuk segera di atasi oleh pemerintah yaitu pemulihan kehidupan sosial
yang saat ini serasa tidak ada harapan lagi.
Pemerintah dituntut
untuk hadir menata ulang kehidupan sosial masyarakat terdampak, membangkitkan
semangat masyarakat dari keterpurukan akibat pemindahan paksa evakuasi akibat
lumpur. Ganti rugi atau dana talangan atau yang disebut dana kompensasi pun
masih belum selesai-selesai pembayarannya dengan berbagai alasan oleh pihak PT.
Minarak Lapindo Jaya.
2.
Krisis sosial, ekonomi dan infrastruktur
Semburan lumpur ini
membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. Lumpur panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan
lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa
mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar
semburan lumpur. Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan berbagai
pihak selama ini antara lain lumpuhnya sektor industri di Kabupaten Sidoarjo.
Sebagai mana kita ketahui Sidoarjo merupakan penyangga Propinsi Jawa Timur,
khususnya Kota Surabaya dalam sektor industri. Sekitar 30 sektor usaha tidak
dapat beroperasi sebagai akibat hilangnya tempat usaha sehingga terpaksa
menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja.
Terkait dengan krisis
sosial, ekonomi dan infrastruktur, beberapa dampak yang sangat berpengaruh
(Wikipedia.com), yaitu:
v Lumpur menggenangi 16
desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian
sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan
serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana
pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah
desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin,
dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak
25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan
77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
v Lahan dan ternak yang
tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di
Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di
Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan
Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
v
Sekitar 30 pabrik
yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan
tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
v Empat kantor
pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
v Tidak berfungsinya
sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan
prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
v
Rumah/tempat tinggal
yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya:
Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo
590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan
Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
v
Kerusakan lingkungan
terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
v
Akibat amblesnya
permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah.
v
Meledaknya pipa gas
milik Pertamina akibat
penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas
terendam.
v Ditutupnya ruas jalan tol
Surabaya-Gempol hingga waktu
yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif,
yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
v Sebuah SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi)
milik PT PLN dan seluruh
jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya
Porong tak dapat difungsikan.
3.
Krisis ekologis
Dampak ekologis akibat
lumpur Lapindo juga sangat luar biasa mengancam lingkungan hidup. Lumpur yang
semakin hari volumenya semakin bertambah maka konsekuensinya adalah akan
menutupi semakin luas wilayah. Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan dan
penelitian yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi
kadarnya jauh di atas ambang batas; dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata
lumpur Lapindo dan sedimen Sungai Porong kadar timbalnya sangat
besar yaitu mencapai 146 kali dari ambang batas yang telah ditentukan
(Wikipedia.com).
Berdasarkan
PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam
lingkungan adalah 230 µg/m³ atau setara dengan 0,23 mg/m³ atau setara dengan
0,23 mg/kg. Maka dari hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh titik
pengambilan sampel lumpur Lapindo mengandung kadar chrysene di atas ambang batas. Sedangkan untuk benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,
15, dan 20, yang kesemuanya di atas ambang batas (Wikipedia.com).
Dengan
fakta sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (chrysene dan benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2.000 kali di
atas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan
PAH (chrysene dan benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan
lingkungan. Pada akibatnya terjadi:
·
Kulit merah, iritasi,
melepuh, dan kanker kulit apabila kontak langsung dengan kulit
Dampak
PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan
terlihat sekarang, tetapi 5 hingga 10 tahun ke depan. Yang paling berbahaya
akibat keberadaan PAH ini antara lain, dapat mengancam kehidupan anak cucu,
khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo beserta
ancaman terhadap kerusakan lingkungan.
4.
Krisis politik
Dalam kasus lumpur
Lapindo ini pernah muncul istilah elite politik berselancar di atas lumpur.
Bagaimana tidak, ini terkait dengan Lapindo yang merupakan anak perusahaan Grup
Bakrie. Tentu saja ini menguntungkan Lapindo. Posisi strategis Aburizal Bakrie
yang pada saat semburan terjadi menjabat sebagai Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat. Dan saa ini, walaupun tidak duduk sebagai anggota kabinet
namun masih menduduki posisi strategis yaitu Ketua Umum Partai Golkar. Dengan
posisi semacam itu, sangat mudah bagi Aburizal untuk mengintervensi politik
bencana lumpur Lapindo melalui penempatan kader Golkar di eksekutif maupun di
legislatif. Selain itu, Grup Bakrie adalah induk dari sebuah stasiun televisi
berita besar di Indonesia, TVOne, yang semakin memudahkan Lapindo
mengendalikan opini publik (Novenanto, 2015:4).
Ada banyak
peraturan-peraturan Pemerintah yang menyeret APBN untuk menyelesaikan masalah
lumpur Lapindo. Namun apa yang terjadi pada masa pemerintahan SBY, khususnya
penanggulangan dana kompensasi tidak kunjuk selesai bahkan PT Minarak Lapindo
Jaya menyatakan ketidaksanggupannya melakukan pembayaran selanjutnya. Tentu
saja ini adalah sikap yang tidak bertanggungjawab. Sementara disisi lain nasip
masyarakt menjadi taruhannya.
B.
Langkah
Tepat Presiden Jokowi
Sebenarnya
apa yang terjadi pada masa pemerintaha SBY sehingga kasus penanggulangan
pembayaran kompensasi tidak kunjug selesai? Setidaknya banyak pihak mengatakan
bahwa itu karena SBY berada dalam lingkaran seta krisis politik. Tekanan dari
koalisi pendukung pemerintah dimana di dalamnya ada Partai Golkar yang
digawangi oleh Abu Rizal Bakri yang merupakan pemilik saham terbesar Lapindo
Brants Inc.
Oleh
karena itu yang dibutuhkan adalah komitmen dari seorang pemimpin yang berpihak
kepada masyarakat dan tidak hanya kepada segelintir orang. Semakin lama
permasalahan ini tidak diselesaikan akan berdampak pada reputasi bangsa
Indonesia yang seakan-akan membiarkan rakyat menderita dan tidak adanya
komitmen pemimpin baik yang lama maupun juga yang baru. Dalam hal inilah
dibutuh seorang pemimpin yang memberi solusi. Griffin (2002:9) mengatakan bahwa
reputasi yang baik itu merupakan sebuah penilain yang diberikan kepada
seseorang yang mebuat atau mengoperasikan sebuah organisasi. Maka, dalam hal
ini Presiden Joko Widodo berusaha untuk tetap menjaga reputasi pemerintah.
Melalui
tim kabinet kerja Jokowi maka pada tanggal 26 Juni 2015 dana kompensasi kepada
korban lumpur Lapindo akan segera dituntaskan pembayarannya setelah ditunggu
sampai 9 tahun (setkab.go..id). Meskipun banyak penentangan dari berbagai
pihak, terutama dari lawan politik namun yang lebih penting adalah tidak membiarkan
masyarakat berlarut-larut dalam ketidakjelasan dan hidup dalam kekhawatiran.
Presiden
Joko Widodo menunjukkan dirinya bahwa ia adalah seorang pemimpin yang tegas dan
mampu membuat kebijakan yang tepat dalam keadaan seperti apapun. Nugroho
(2015;239) mengatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki empat kapasitas
utama; (1). Pikiran yang baik dan jelas. (2). Tahu tujuannya kemana. (3).
Gagasan cerdas. dan (4). Menguasai sumber daya kebijkan. Penyelesaian dana
kompensasi bagi korban lumpur Lapindo masih bisa tuntas dalam 9 tahun
pemerintahan SBY namun dalan kurang 1 tahun masa pemerintahan Jokowi memiki
alternatif solusi atau lebih tepatnya disebut ‘win-win solution’. Hal ini
menunjukkan bahwa ia memiliki kapasitas pemimpin yang solutif.
C.
Strategi
Penyelesaian Lumpur Lapindo
Helm (2011:18) mengatakan
bahwa reputasi merupakan persepsi kolektif dari perusahaan atau kelembagaan
melalui para pemangku kepentingan. Dalam kasus penyelesaian pembayaran dana
kompensasi kepada warga korban lumpur Lapindo, presiden Jokowi mengedepankan
apa yang disebut ‘mendengar melalui blusukan’. Presiden Jokowi mendengar aspirasi
dan pekikan suara masyarakat Porong, Sidoarjo.
Selanjutnya adalah
mengonsolidasi semua elemen kekuatan dari dalam yaitu kabinet kerjanya atau
yang disebut dengan ‘duduk bersama satu meja’ dengan tim
internal. Hal ini bertujuan untuk melakuan kajian apa saja yang perlu dilakukan
dalam menghadapi krisis yang sekompleks kasus lumpur Lapindo. Oliver-Smith
(dalam Novenanto, 2010:65) mengatakan bahwa ada tiga perspektif besar studi
antropologi bencana: 1. Pendekatan respons yang cenderung melihat kerusakan dan
bencana sebagai tantangan bagi struktur dan organisasi dalam masyarakat dan
memfokuskan pada perilaku individual dan kelompok dalam berbagai macam tahapan
pasca-bencana. 2. Pendekatan perubahan sosial dan 3. Pendekatan ekonomi
politik.
Kasus lumpur Lapindo
tentunya penuh dengan riak-riak, baik dari masyarakat korban, perusahaan grup
Lapindo maupun juga pemerintah dengan tekanan dari kiri dan kanan terutaman
dari tekanan politik. Dengan kekuatan bersama tim Jokowi mampu untuk mengelola
gejolak itu dengan baik.
Strategi berikutnya
yang dilakukan oleh Jokowi dan tim kabinetnya adalah ‘hubungan dengan berbagai
stakeholder (stakeholder relation)’. pemerintah merangkul masyarakat,
pihak Lapindo dan pemerintah daerah. Hal ini diperlukan untuk mendengar semua
keluh kesah sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar
sebuah kebijakan nantinya dapat diterima secara bersama-sama.
Sebagaimana berbagai
tuntutan agar pemerintah campur tangan dalam kasus Lapindo, walaupun ada
batasan undang-undang dan peraturan lainnya namun jika ada niat untuk
menyelesaikan masalah maka pasti ada jalan. Dalam hal ini strategi lanjutan
Presiden Jokowi adalah ‘intervensi’. Negara memiliki kewenangan sekaligus tanggungjawab moral
terhadap setiap nasib masyarakatnya. Karena itu kehadiran pemerintah memberikan
angin segar akan terjadi penyelsaian masalah.
Terakhir adalah ‘eksekusi’.
Setelah dilakukan tahapan-tahapan awal maka tahapan akhir adalah eksekusi yaitu
membuat kebijakan, merencanakan anggaran, membagi kepada masyarakat, tindakan
pemberdayaan dan penyelesaian-penyelesaian masalah lainnya.
Dalam menghadapi krisis
yang sudah lama, pelik dan menguras energi, maka setidaknya dapat menerapkan
lima langkah ala presiden Joko Widodo di atas.
III.
KESIMPULAN
Permasalahan lumpur
Lapindo tentu saja tidak akan berhenti dengan dibayarkannya dana kompensasi
kepada masyarakat. Masih banyak permasalahan lainnya yang harus menjadi
tanggungjawab pemerintah, terkait dengan pengolaan semburan, pengawasan
terhadap dampak lingkungan, pembangunan infrastruktur utama seperti gedung
sekolah dan juga sarana transportasi, pemulihan ekonomi warga, pemberdayaan dan
masih banyak lainnya.
Krisis adalah bagian
dari perjalan sebuah perusahaan ataupun sebuah negara. Maka, siapa pun yang ada
didalamnya harus terlibat dalam penyelesaiannya. Dalam hal ini kita diberi dua
kesempatan; harus menunggu 9 tahun atau dalam kurun 1 tahun saja satu krisis
bisa diatasi. Disini dibutuhkan kapasitas seorang pemimpin yang kuat terhadap
tekanan apapun, memiliki visi dan strategi serta mengutamakan kepentingan umum
dari pada kepentingan pribadi. Satu hal ialah bahwa reputasi negara akan
semakin baik jika ‘negara hadir’ di
tengah-tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pemeriksa
Keuangan (2007). Laporan Pemeriksaan Atas
Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo (Ringkasan Eksekutif). Jakarta:
BPK.
Griffin, Gerry.
(2002). Reputation Management. UK:
Capstone Publishing.
Helm, Sabrina.
Gobbers, Kerstin Liehr dan Storck, Dhristopher. (2011). Reputation Management. New York: Springer.
Novenanto,
Anton. (2015). Manusia dan Tanah: Kehilangan Dan Kompensasi Dalam Kasus Lapindo. Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015 (hal
1-11).
Novenanto,
Anton. (2010). Melihat Kasus Lapindo
Sebagai bencana Sosial. Masyarakat
Kebudayan dan Politik, Th. 23, No. 1, Januari – Maret 2010 (hal 63-75).
Nugroho, Riant.
2015. Policy Making: Mengubah Negara
Biasa Menjadi Negara Berprestasi. Jakarta: Alex Media Komputindo.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
ReplyDeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
terimakasih sudah berbagi yah kak
ReplyDeletemnc tv streaming