Paradigma dan Perspektif*

Image
Oleh: Fikar Damai Setia Gea A.     Pengertian Paradigma Secara etimologis kata Paradigma bermula pada sejak abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari Bahasa Latin pada tahun 1943 yaitu paradigma   yang berarti suatu model atau pola. Sementara dalam Bahasa Yunani berasal dari kata paradeigma (para+deignunai) yang berarti untuk “membandingkan”, “bersebelahan” (para) dan “memperlihatkan” (deik). Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama khususnya dalam disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa pengertian paradigma menurut pada ahli adalah sebagai berikut: Pengertian paradigma menurut Patton (1975) : “A world view, a general perspective, a way of   breaking down of the complexity of the real world” (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata) . Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs (197

NATAL, NIAS DAN REVOLUSI MENTAL



Pada awal bulan Desember 2014 ini saya berkesempatan atau lebih tepatnya diberi kepercayaan untuk mencarikan seorang pendeta yang akan menjadi Pengkhotbah pada acara natal pemuda di kampung kami. Dalam pertemuan dengan Bapak Pendeta yang hendak kami undang, banyak hal yang menjadi perbincangan kami, pakah itu sekedar sharing informasi, baik tentang jemaat, pemuda, masyarakat sebagai warga negara dan warga gereja, event-event penting yang berlangsung akhir-akhir ini di Nias seperti Sidang Raya PGI XVI pada bulan November yang lalu dan masih banyak lainnya.

Namun satu hal yang menohok di dalam hati saya ketika dia bercerita tentang pernyataan seorang tamu dari luar Nias ketika sedang menghadiri peresmian salah satu Rumah Sakit Swasta di Gunungsitoli beberapa minggu sebelumnya, yang waktunya bersamaan dengan pelaksanaan Sidang Raya PGI XVI. Tamu yang dimaksud juga merupakan peserta pada Sidang Raya PGI XVI dan diundang pada acara peresmian itu. Pernyataannya adalah “Pak Pendeta, Kepulauan Nias ini luar biasa ya. Mobil dinas pimpinan daerahnya lebih bagus dan mewah dari gedung kantornya”.

Ternyata Pak Pendetanya juga kaget mendengar itu. Setelah bercerita lebih jauh lagi dengan sang tamu, yang dimaksudkan adalah bahwa ketika mereka berkeliling di Kepulauan Nias setidaknya di Teluk Dalam, di Mandrehe, di Sitolu Ori dan Gunungsitoli gedung-gedung pemerintahan saja masih belum tertata dengan baik dan apalagi kehidupan masyarakat yang mayoritas masih berada pada garis kemiskinan bahkan di bawah garis kemiskinan namun pejabatnya tampil begitu mewahnya di atas mobil dinas mereka. Tentu saja kita tahu merek apa mobil dinas para pimpinan daerah di Kepulauan Nias dan juga mobil dinas jajaran pejabat dibawahnya.

Secara pribadi, saya sebagai Aparatur Sipil Negara secara tidak langsung dari cerita Pak Pendeta ini menusuk ke relung hati saya yang paling dalam, karena saya merasa bahwa saya ikut disentil dari ceritanya itu bahkan lebih dari pada itu!

Natal Adalah Allah Turun Tangan

Di masa-masa raya natal yang terus berkumandang di penghujung Tahun 2014 ini, penting sekali bagi setiap pemangku kepentingan yang mau melayani ditengah-tengah masyarakat untuk memahami apa sebenarnya konsep natal bagi seorang pelayan atau abdi. Maka rujukan yang paling baik untuk memahami konsep ini adalah seperti dituliskan dalam Yohanes 3:16 yang berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”.

Artinya ialah ketika Allah melihat kesemrawutan dan kekusutan dalam dunia, Dia mengambil satu tindakan nyata, aktif dan inklusif. Allah dengan cinta dan kasih-Nya mau mengulurkan tangan-Nya untuk membereskan kesemwarutan dan kekusutan yang dialami oleh manusia. Allah mau menyentuh umat manusia secara langsung, bertatap muka, berbicara dan ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh manusia.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Baiknya kita kembali merujuk pada kalimat dalam Filipi 2:5-7 yang berkata: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”.

Sesungguhnya inilah Natal, ketika mau menanggalkan jabatan, harta dan kuasa yang kita punya dan dengan penuh kesadaran turun tangan untuk bersentuhan langsung dengan warga masyarakat, bersalaman dengan mereka, mendengar, saling bertukar informasi, berbagi penderitaan dan satu hal yang juga penting adalah solusi yang mau kita berikan kepada mereka.

Natal adalah sebuah Revolusi Mental. Ketika sebuah amanah dalam bentuk kedudukan, jabatan, kuasa bahkan harta tidak menjadi sekat pemisah dengan masyarakat karena merasa diri sebagai orang yang pantas dihormati dan dijunjung tinggi. Itu adalah mental lama yang perlu diubah total menjadi mental baru yang ‘Natalis’; mengosongkan diri, berbaur dengan rakyat dan mau mengulurkan tangan untuk memberi jawaban atas penderitaan dan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat.

Tujuan Akhir Revolusi Mental

Kembali dalam konsep natal yang indah itu, revolusi mental atau mental natalis yang mengosongkan diri, berbaur dengan rakyat dan mau mengulurkan tangan adalah bertujuan untuk mewujudkan damai sejahtera di antara manusia.

Damai sejahtera di antara manusia itu seperti apa sih wujudnya?

Damai sejahtera dapat kita lihat dalam berbagai contoh berikut ini:

Jika masyarakat kita hidup dalam damai dan persatuan, tidak terpecah belah dan tidak terkotak-kotakkan maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika hubungan yang selama ini retak ditengah-tengah masyarakat pulih kembali maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika lingkungan kita bersih, asri, tidak bertebaran sampah dan bau dimana-mana maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika panen berhasil dan kebutuhan hidup tercukupi maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika pemerintah berhasil menyediakan bibit/benih yang baik, menyediakan alat-alat pertanian dan menyediakan irigasi yang baik maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika daya beli masyarakat tetap dapat terjaga akibat inflasi yang tidak terkendali maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika infrastruktur jalan dan jembatan telah menjangkau masyarakat di daerah pedalaman sehingga mereka tidak lagi bersusah payah mengangkut dan memasarkan hasil-hasil pertanian dan komoditas perkebunan mereka maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika masyarakat senantiasa diterangi dengan listrik yang cukup dan tidak hidup mati hidup mati maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika lalulintas lancar tanpa kemacetan maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Jika pemerintah telah siap sedia terhadap ancaman bencana banjir, longsor, kebakaran, gempa bumi bahkan tsunami maka masyarakat berada dalam damai sejahtera.

Dan masih banyak damai sejahtera lainnya. Namun, damai sejahtera tidak turun dari langit melainkan kita semua harus turun tangan untuk mewujudkannya dengan itikad baik dan kesungguhan.

Revolusi mental adalah pembaharuan budi untuk mampu membedakan manakah yang baik dan sempurna yang berkenan kepada Allah dan juga manusia. Di akhir tulisan ini saya ingin membagikan doa Fransiscus dari Asisi yang mengajak kita untuk menjadi pembawa damai sejahtera dengan Mental Natalis, doa itu berbunyi;

Tuhan,

Jadikanlah aku pembawa damai,

Bila terjadi kebencian,jadikanlah aku pembawa cinta kasih,

Bila terjadi penghinaan,jadikanlah aku pembawa pengampunan,

Bila terjadi perselisihan,jadikanlah aku pembawa kerukunan,

Bila terjadi kebimbangan,jadikanlah aku pembawa kepastian,

Bila terjadi kesesatan,jadikanlah aku pembawa kebenaran,

Bila terjadi kecemasan,Jadikanlah aku pembawa harapan,

Bila terjadi kesedihan,jadikanlah aku sumber kegembiraan,

Bila terjadi kegelapan,jadikanlah aku pembawa terang,

Tuhan semoga aku ingin menghibur dari pada dihibur,

memahami dari pada dipahami,mencintai dari pada dicintai,

sebab dengan memberi aku menerima,

dengan mengampuni aku diampuni,

dengan mati suci aku bangkit lagi,

untuk hidup selama-lamanya.

Amin.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

KENDALA DAN HAMBATAN SERTA SOLUSI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN*

E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK KEPENTINGAN*

PELET JEPANG!

CORPORATE BRANDING AND CORPORATE REPUTATION

KOMUNIKASI HUMANIS*