Paradigma dan Perspektif*

Image
Oleh: Fikar Damai Setia Gea A.     Pengertian Paradigma Secara etimologis kata Paradigma bermula pada sejak abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari Bahasa Latin pada tahun 1943 yaitu paradigma   yang berarti suatu model atau pola. Sementara dalam Bahasa Yunani berasal dari kata paradeigma (para+deignunai) yang berarti untuk “membandingkan”, “bersebelahan” (para) dan “memperlihatkan” (deik). Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama khususnya dalam disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa pengertian paradigma menurut pada ahli adalah sebagai berikut: Pengertian paradigma menurut Patton (1975) : “A world view, a general perspective, a way of   breaking down of the complexity of the real world” (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata) . Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs (197

PNS SEBAGAI RELAWAN GARIS DEPAN PEMBERANTAS KORUPSI DI KEPULAUAN NIAS*

Oleh: Fikar Damai S. Gea

Sepanjang sejarah peradaban umat manusia di dunia, korupsi telah menjadi bagian kelabu yang turut mewarnai setiap perjalanan sejarah itu sendiri dari waktu ke waktu. Korupsi telah berlangsung sangat lama dan universal, sejak zaman dahulu pada masa peradaban Mesir kuno, Babilonia, Yunani kuno, Romawi kuno, Kekaisaran Cina, hingga abad pertengahan di negara-negara barat (Eropa dan Amerika). Bahkan di Indonesia sendiri korupsi sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, zaman penjajahan sampai di zaman modern saat ini. Hal ini berarti bahwa korupsi bukanlah barang baru dalam sistim pemerintahan di zaman sekarang, begitu juga halnya dengan berbagai kasus korupsi yang terjadi di perusahaan-perusahaan serta organisasi-organisasi swasta dewasa ini.

Jadi, patut timbul pertanyaan bagi kita yakni; jika praktek korupsi telah tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu dan masih tetap berlangsung sampai saat ini, sebenarnya apa yang menjadi penyebab utama praktek korupsi ini? Jika kita semua tahu bahwa korupsi ini merupakan “tanaman jahat” yang tumbuh dan berkembang dalam sistim pemerintahan mengapa akar tanamannya sangat sukar untuk dicabut dan dimusnahkan? Sebenarnya bibitnya terbuat dari apa dan dari mana sehingga sangat sulit diberantas?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara korup adalah (1) buruk; rusak; busuk; (2) suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Definisi di atas searah dengan asal kata korupsi dari bahasa Latin yaitu corruptio dengan kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan atau menyogok.

Secara umum korupsi dapat diidentifikasikan kedalam beberapa bentuk, yaitu; penyuapan, penggelapan/pencurian, penipuan, pemerasan dan favoritisme. Penyuapan merupakan pembayaran (dalam bentuk uang atau sejenisnya) yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi. Sehingga esensi korupsi dalam konteks penyuapan adalah baik tindakan membayar maupun menerima suap. Umumnya penyuapan ini merupakan pembayaran untuk memuluskan atau memperlancar urusan, terutama ketika harus melewati proses birokrasi formal.

Sedangkan penggelapan/pencurian adalah tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh pegawai pemerintah atau aparat birokrasi. Penggelapan/pencurian uang rakyat atau uang negara ini merupakan sebuah tindakan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pegawai pemerintah atau aparat birokrasi. Sementara penipuan yang sering dikenal dengan istilah fraud merupakan kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan, penipuan dan perilaku tidak jujur. Jenis korupsi ini merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisir dan melibatkan pejabat. Penipuan atau fraud relatif lebih berbahaya dan berskala lebih luas dibanding kedua jenis korupsi sebelumya. Kerjasama antar pejabat/instansi dalam menutupi satu hal kepada publik yang berhal mengetahuinya merupakan contoh dari jenis kejahatan ini.

Korupsi dalam bentuk pemerasan adalah jenis korupsi yang melibatkan aparat yang melakukan pemaksaan atau pendekatan-pendekatan tertentu untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan. Praktek korupsi ini dapat berupa pemerasan yang dilakukan oleh aparat pemberi layanan kepada warga. Dan favoritisme merupakan tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau aparat birokrasi yang memiliki kekuasaan untuk memilih dan menempatkan orang-orang yang disukainya untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuan dan keahlian yang dimiliki.

Kelima bentuk praktek korupsi di atas merupakan sifat dasar negatif yang dimiliki oleh setiap manusia, yakni; menyuap, mencuri, menipu, memeras dan pilih kasih. Sifat negatif ini biasanya terjadi akibat sikap mental, karakter dan moralitas yang rendah yang dimiliki oleh masing-masing orang. Tinggi rendahnya mentalitas, karakter dan moralitas dalam diri seseorang tergantung seberapa besar dia menyerap nilai-nilai yang diproduksi oleh lingkungannya. Hal ini dapat berupa lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan sosial, lingkungan tempat bekerja bahkan sampai pada sistim kepemimpinan atau sistim pemerintahan yang diterapkan. Sehingga timbul pertanyaan, jika praktek korupsi masih terus menerus berlangsung hingga saat ini apa yang salah dengan nilai-nilai yang diproduksi dari lingkungan pergaulan kita mulai dari lingkungan keluarga sampai kepada sistim pemerintahan yang diterapkan di Negara kita sehingga mentalitas, karakter dan moralitas anak-anak bangsa di negeri ini sangat rendah? Pertanyaan ini menjadi sebuah perenungan bagi masing-masing kita sebagai anak bangsa.

Akan tetapi, perlu juga untuk ditelisik lebih jauh lagi bahwa praktek korupsi terjadi bukan hanya disebabkan oleh mentalitas, karakter dan moralitas yang rendah saja. Jika kita perhatikan kelima bentuk praktek korupsi di atas mulai dari penyuapan, penggelapan/pencurian, penipuan, pemerasan hingga favoritisme memiliki satu kesamaan. Bahwa kelima bentuk praktek korupsi tersebut merupakan gejala penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi, penyalahgunaan kekayaan negara dengan menggunakan wewenang atau kekuatan-kekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri.

Ada kencenderungan bahwa praktek korupsi yang sering terjadi sekarang merupakan hasil dari sistim pemerintahan yang sengaja diciptakan untuk korup. Mengapa dikatakan demikian, karena dalam prakteknya korupsi merupakan sebuah tindakan sistemik dan terencana yang melibatkan oknum-oknum pejabat tertentu yang dengan sengaja melakukan tindakan korupsi untuk memperkaya diri mereka sendiri dan bersekongkol untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan. Kondisi seperti ini dapat terjadi ketika pemerintahan dikelilingi oleh orang-orang dekat penguasa dimana kekuasaan terpusat di tangan sekelompok orang saja sehingga sangat sulit membongkar berbagai tindakan korupsi yang terjadi.

Sebagai dampak sosial akibat sistim pemerintahan yang korup seperti ini adalah memudarnya kepercayaan masyarakat akan kerja keras, kejujuran dan kepandaian karena dalam kehidupan masyarakat yang selalu mendepankan kerja keras, jujur dan pandai tetap saja tidak mengalami perbaikan taraf kehidupan. Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elit atau berhubungan dekat dengan para pejabat atau penguasa. Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun. Masyarakat menjadi cenderung untuk mencari jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu, adanya kecenderungan masyarakat untuk cepat kaya dan kehilangan rasa percaya diri, kehilangan integritas, memudarnya semangat juang dan kompromi atau memberikan ruang terhadap berbagai tindakan yang korup.

Korupsi di Indonesia

Perjalanan Bangsa Indonesia dari awal kemerdekaan sampai pada masa reformasi dan demokratisasi dewasa ini masih dililit dengan praktek-praktek korupsi yang semakin hari semakin berkembang dengan sangat pesat. Pemerintah bukannya tinggal diam untuk melakukan upaya-upaya pemberantasan. Banyak upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah melalui berbagai kebijakan peraturan perundang-undangan mulai dari yang tertinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan membuat beberapa Peraturan Perundang-Undangan, antara lain; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan pada tahun 2006 Pemerintah juga membuat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Tidak berhenti sampai disitu, Pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan tetapi, Negara Indonesia masih saja menjadi lahan subur tempat bertumbuh dan berkembangnya berbagai praktek korupsi.

Berdasarkan daftar perkara yang sudah ditangani oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Negeri dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia dari Januari hingga Agustus 2011 tercatat 357 kasus memasuki tahap penyelidikan, 1.018 kasus korupsi memasuki tahap penyidikan dan 825 kasus memasuki tahap penuntutan. Hal ini dikatakan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus D. Andhi Nirwanto ketika melakukan sosialisasi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Kudus. Adapun jumlah uang Negara yang berhasil diselamatkan dari ratusan kasus tersebut adalah Rp. 68,46 miliar dalam bentuk rupiah dan US$ 2.920,56 dalam bentuk dolar. Kasus-kasus ini belum lagi ditambah dengan kasus dari tahun-tahun sebelumnya serta kasus-kasus kelas kakap seperti kasus Century, kasus Nazarudin dan masih banyak kasus aras nasional yang jumlahnya sangat besar lainnya.

Tidak hanya itu, berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pekeriksaan Keuangan (BPK) yang dilaporkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2011 menemukan sebanyak 11.430 kasus dengan potensi kerugian Negara senilai Rp. 26,67 triliun. Keseluruhan temuan tersebut terbagi dalam dua bentuk, yaitu sebanyak 3.463 kasus senilai Rp. 7.71 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian dan kekurangan penerimaan. Sedangkan sisanya sebanyak 7.967 kasus senilai Rp. 18,96 triliun merupakan akibat dari ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam pelaksanaan tugas.

Walaupun hasil laporan BPK ini tidak serta merta merupakan praktek korupsi, namun jika dalam sebuah tugas atau kegiatan yang dipercayakan kepada pegawai pemerintah atau pejabat birokrasi tertentu untuk dilaksanakan terjadi ketidakpatuhan, ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan apakah hal ini bukan merupakan indikator-indikator awal terciptanya korupsi. Jadi, perlu disadari bahwa laporan IHPS I BPK ini sebenarnya dapat dijadikan titik awal dalam melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja oleh Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah Daerah untuk mengantisipasi terjadi praltek-praktek korupsi ke depan.

Hal lain yang membuat kita semakin prihatin terhadap praktek korupsi di Indonesia adalah hasil survey Political and Economic Risk Consutancy (PERC) yang berbasis di Hongkong menyatakan bahwa pada tahun 2010 Indonesia adalah Negara terkorup di antara 16 negara di Asia Pasifik. Predikat Negara terkorup diberikan karena Indonesia memiliki skor 9,27 dimana hampir menyentuh angka mutlak 10 nilai tertinggi atau terkorup. Kondisi ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir bukannya mengalami penurunan melainkan semakin mengalami kenaikan. Hasil survey Political and Economic Risk Consutancy (PERC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia memiliki skor 9,25 dan juga bertengger di posisi pertama Negara terkorup di Asia Pasifik.

Belum lagi masalah supremasi hukum yang menjadi tantangan berat bagi Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The World Justice Project rangking supremasi hukum di Indonesia secara global tercatat pada peringkat 47. Lemahnya penegakkan hukum di Indonesia membuat Indonesia menjadi lahan subur bagi para koruptor. Berdasarkan hasil catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) hingga Oktober 2011 menyatakan bahwa kurang dari 2 (dua) tahun sejak lahirnya Undang-Undang Pengadilan Tipikor tahun 2008, sudah 26 terdakwa kasus korupsi divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor. Tentunya keputusan ini merupakan keputusan yang sangat kontroversial baik di mata para pemerhati hukum, aktifis anti korupsi bahkan masyarakat anti korupsi di Indonesia. Vonis bebas terhadap para koruptor ini merupakan gambaran betapa buruknya supremasi hukum di Indonesia.

Adalah tugas dan tantangan yang sangat berat bagi bangsa Indonesia untuk memberantas berbagai tindakan korupsi yang semakin merajalela di Negara ini. Menghapus angka yang hampir mutlak sempurna sebagai Negara terkorup memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, jika berbagai upaya yang dilakukan berasal dari hati dan dengan semangat memiliki menuju perubahan maka sebesar apapun masalah, tantangan dan rintangan yang ada di depan pasti dapat dituntaskan dengan baik.

Korupsi dan Perkembangannya di Kepulauan Nias

Korupsi di Kepulauan Nias sudah menjadi sebuah fenomena sosial yang sudah mulai merambah kedalam sendi-sendi pemerintahan di beberapa daerah yang ada di Kepulauan Nias. Hal ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja karena akan menjadi bom waktu yang akan menghancur Kepulauan Nias menuju kepada kemiskinan yang berkepanjangan.
Bukan hanya isapan jempol belaka, benar bahwa praktek korupsi sudah mulai menggurita di Kepulauan Nias. Misalkan saja kasus korupsi dana bantuan gempa dan tsunami Nias tahun 2006 yang diduga merugikan Negara sebesar Rp. 3,7 miliar yang menyeret mantan Bupati Nias Binahati B. Baeha dituntut 8 (delapan) tahun penjara. Modus operandi korupsi ini adalah dengan cara menaikkan harga barang-barang yang seharusnya dibeli untuk memberdayakan masyarakat Nias pasca gempa bumi dan memindahbukukan dana bantuan tersebut ke rekening pribadi pejabat tertentu.

Selain itu, kasus korupsi lainnya yang menyeret mantan Kepala Daerah sebagai tersangka adalah kasus suap yang dilakukan oleh Fahuwusa Laia mantan Bupati Nias Selatan. Fahuwusa diumumkan sebagai tersangka pada 26 April 2011 yang lalu dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 04 Oktober 2011 dengan tujuan untuk mempermudah penyidikan . Ia dinyatakan sebagai tersangka atas dugaan memberikan suap berupa uang senilai Rp. 100 juta kepada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nias Selatan agar ia dapat diikutsertakan sebagai Calon Bupati Nias Selatan periode 2010-2015.

Dua kasus di atas adalah dua contoh perkara korupsi yang telah secara nyata terbukti setelah dilakukan pemeriksaan oleh KPK hingga sampai pada putusan pengadilan. Belum lagi kasus-kasus lainnya baik yang sudah disentuh oleh hukum maupun kasus-kasus lain yang terindikasi korupsi namun masih belum tersentuh oleh hukum. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama dan perlu mendapat pengawasan di daerah adalah bahwa dalam pelaksanaan tugas di pemerintahan beberapa peluang dan modus operandi praktek korupsi yang bisa dilakukan adalah penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan dan tanda prosedur, penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah, manipulasi sisa APBD dan manipulasi dalam proses pengadaan.

Selain beberapa kasus dan modus operandi korupsi tersebut di atas, kondisi ini semakin diperparah dengan praktek-praktek korupsi lain yang dilakukan oleh para pegawai negeri atau aparat birokrasi berupa korupsi waktu, tidak disiplin, melanggar aturan, memanfaatkan kegiatan yang sifatnya prosedural untuk memperkaya diri sendiri dan praktek-praktek tidak bertanggungjawab lainnya.

PNS sebagai Relawan Garis Depan

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir kali dirubah dengan Undang-Undangn Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dimana pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan diterapkannya sistim desentralisasi ini maka kewenangan menyangkut sektor pelayanan umum dan pengalokasian pendanaan pelayanan umum menjadi kewenangan daerah. Dengan adanya pelimpahan kekuasaan yang begitu luas di daerah pada gilirannya berimplikasi pada pergeseran kekuasaan di tingkat lokal. Tidak heran jika bermunculan penguasa-penguasa kecil di daerah yang berusaha mempertahankan posisi dan memperkaya diri dengan berbagai cara.

Desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah selain sebagai upaya reformasi untuk mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi lokal juga berimplikasi negatif terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pegawai atau pejabat birokrasi di daerah. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagaimana kita harus menyikapi kondisi ini?

Setelah mengetahui bagaimana perkembangan praktek korupsi di Indonesia dan juga di Kepulauan Nias, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk berupaya memberantasnya. PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat merupakan barisan terdepan dalam melalukan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi, ada image bahwa menjadi PNS identik dengan tindakan korupsi. Hal ini terjadi karena ada kecenderungan untuk melakukan praktek korupsi, dimana sifat dasar negatif berupa menyuap, mencuri, menipu, memeras dan pilih kasih lebih dikedepankan dari pada mentalitas, karakter dan moralitas yang mulia.

PNS seharusnya menjadi relawan garis depan dalam memberantas korupsi. Relawan adalah seorang pelayan sejati yang bekerja tanpa pamrih, menjadi ujung tombak dalam suatu misi, memiliki semangat rela berkorban, pantang menyerah, kuat, dapat dipercaya, menjadi teladan dan siap terjun langsung ke lapangan untuk menyelesaikan masalah. Apakah peran ini bisa dilakukan oleh PNS? Tentu saja bisa!

Caranya adalah ada keinginan dan komitmen yang kuat yang timbul dari kesadaran sendiri oleh setiap PNS untuk mengedepankan mentalitas, karakter dan moralitas yang mulia dalam melaksanakan tugas tanpa dengan mudah digerogoti oleh sikap yang mau berkompromi dengan korupsi; menumbuhkan dan membangun etos kerja pegawai pemerintah tentang pemisahan yang jelas antara milik negara dengan milik pribadi; adanya teladan yang ditunjukkan oleh pimpinan dan setiap pegawai; terbuka untuk kontrol; adanya kontrol sosial dan sanksi sosial; serta menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Upaya yang lahir dari komitmen dan kesadaran sendirilah yang menumbuhkan sikap menjadi seorang relawan.
Dalam upaya menyelamatkan dan mencegah Kepulauan Nias dari Kehancuran akibat korupsi yang berada di posisi terdepan ialah pemerintah. Pemerintah memiliki kekuatan yang besar karena mereka memegang alat kekuasaan yang besar pula. Kekuatan besar pemerintah adalah para pegawai yang dimilikinya. PNS yang bersih yang berada di garis depan pelayanan dan menjadi relawan garis depan dalam memberantas korupsi adalah modal utama pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.

Selain itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menyukseskan semangat relawan garis depan pemerintah adalah penegasan kembali komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, diantaranya melalui: Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif; Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; Pembuatan aturan dan kode etik PNS; Pembuatan pakta integritas; dan Penyederhanaan birokrasi. Dengan itu diharapkan upaya pencegahan terhadap praktek korupsi semakin lengkap dan semua lini dapat terawasi dengan baik.

Selain upaya preventif (pencegahan) juga dilakukan upaya adventif (pemberitaan atau publikasi). Untuk meningkatkan efek jera terhadap praktek korupsi maka perlu ada media informasi dan publikasi tentang bahaya laten korupsi. Sehingga, masyarakat mengerti apa saja praktek-praktek korupsi itu. Dengan cara itu diharapkan agar masyarakat tidak melakukan praktek-praktek korupsi dan mau melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila diketahui ada indikasi terjadinya praktek-praktek korupsi di lingkungan dimana kita berada. Tidak hanya terbatas pada bahaya laten korupsi tetapi informasi dan publikasi yang dibuat juga memuat tentang sanksi hukum terhadap para koruptor dan menayangkan wajah para koruptor media massa. Upaya untuk mengubahkan dan mengarahkan cara berpikir masyarakat menuju masyarakat yang bebas korupsi jika dilakukan secara mendalam dan terarah akan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat.

Kepulauan Nias Tanpa Korupsi

Korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur di Kepulauan Nias membuat masyarakat semakin dirugikan. Masyarakat cenderung dijadikan alasan untuk oknum-oknum pejabat tertentu untuk melakukan praktek korupsi. Manipulasi keuangan daerah yang paling korup adalah manipulasi terhadap sisa dana APBD dan pengadaan barang/jasa pemerintah dan juga pekerjaan konstruksi. Kasus suap dan pemerasan juga terjadi di sektor pajak dan retribusi daerah serta sektor perijinan. Tidak hanya itu, korupsi juga terjadi terjadi di kalangan politisi (Anggota DPRD) dengan cara memperbanyak atau memperbesar anggaran untuk tunjangan dan fasilitas bagi anggota DPRD, menyalurkan dana APBD bagi keperluan anggota dewan melalui kegiatan-kegiatan yang fiktif serta memanipulasi bukti perjalanan dinas. Secara umum, pelaku korupsi adalah aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis dan warga masyarakat sendiri.

Praktek korupsi yang semakin berkembang dan terstruktur jika tidak segera diberantas akan semakin sulit untuk dibendung. Korupsi sebagai kekerasan struktural yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah merupakan penindasan, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Seandainya anggaran daerah dialokasikan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan semua pekerjaan-pekerjaan pemerintah dilaksanakan dengan benar, bukan hal yang mustahil untuk membangun Nias yang bebas dari korupsi dan kemiskinan. Mari dengan semangat relawan garis depan kita wujudkan Kepulauan Nias yang bebas korupsi dan kemiskinan.

*Juara III Lomba Menulis oleh NiasBangkit.Com, ICW dan Kandang Boekoe dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi se Dunia tahun 2011 di Nias.

Comments

Popular posts from this blog

KENDALA DAN HAMBATAN SERTA SOLUSI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN*

E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK KEPENTINGAN*

PELET JEPANG!

CORPORATE BRANDING AND CORPORATE REPUTATION

KOMUNIKASI HUMANIS*