Paradigma dan Perspektif*

Image
Oleh: Fikar Damai Setia Gea A.     Pengertian Paradigma Secara etimologis kata Paradigma bermula pada sejak abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari Bahasa Latin pada tahun 1943 yaitu paradigma   yang berarti suatu model atau pola. Sementara dalam Bahasa Yunani berasal dari kata paradeigma (para+deignunai) yang berarti untuk “membandingkan”, “bersebelahan” (para) dan “memperlihatkan” (deik). Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama khususnya dalam disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa pengertian paradigma menurut pada ahli adalah sebagai berikut: Pengertian paradigma menurut Patton (1975) : “A world view, a general perspective, a way of   breaking down of the complexity of the real world” (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata) . Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs (197

Transformasi (Pendidikan) Menembus Batas Tradisi dan Paradigma By Fikar D. Gea

Tulisan ini di muat di Buletin Visi Mohaga Mbanuada Wahana Visi Indonesia ADP Nias

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa Nias adalah daerah yang sangat kaya akan sumber daya alam, budaya, keindahan alam dan juga kaya akan sumber daya manusia. Budaya, adat istiadat dan berbagai kebiasaan-kebiasaan (tradisi) peninggalan leluhur Nias telah bertumbuh dan bertahan selama berabad-abad menjadi aturan-aturan, norma atau tradisi yang telah melekat dan berlaku dalam masyarakat Nias secara turun temurun, bahkan telah bertumbuh membentuk sebuah paradigma. Namun, jika ternyata budaya merupakan sesuatu yang dinamis atau sifatnya berubah dan terus berubah, apakah tradisi-tradisi lama yang telah dipegang dengan sangat kuat ini harus tetap dipertahankan? Budaya yang besar ialah budaya dimana bisa bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan zamannya, hingga mencapai suatu puncak peradaban tertentu.



Memahami Adat Fondrakõ di Nias

Kepulauan Nias merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih kental dengan adat istiadat dalam lingkungan kehidupan sosial kemasyarakatannya. Dengan kata lain, tata cara kehidupan masyarakat Nias masih dipengaruhi oleh nilai-nilai adat istiadat yang masih berlaku ditengah-tengah masyarakat Nias saat ini.

Salah satu adat istiadat yang masih diterapkan dan di junjung tinggi di Nias yakni Adat Fondrakõ. Fondrakõ merupakan sebuah kesepakatan-kesepakatan adat yang dihasilkan dari sebuah musyawarah adat tertinggi di Arõ Gosali (tempat terjadinya musyawarah tertinggi) yang dihadiri dan disahkan oleh para petinggi-petinggi adat, seperti Tuhenõri, Salawa dan Balugu/Si’ulu dengan melaksanakan pesta adat dan mengumpulkan seluruh masyarakat untuk mendengar dan mengikuti kegiatan adat tersebut. Biasanya Fondrakõ ini ditetapkan oleh sebuah Banua (kampung) atau juga ditetapkan oleh suatu kelompok masyarakat (kelompok marga) dalam suatu wilayah tertentu yang sifatnya sangat sakral dan sangat keras.

Secara etimologi, kata Fondrakõ terdiri dari dua kata yaitu Fo dan Rakõ. Fo merupakan sisipan kata yang berarti Pe atau Ke dan Rakõ merupakan kata kerja yang berarti tetapkan dengan sumpah dan sanksi bagi yang melanggarnya. Jadi, Fondrakõ dapat diartikan sebagai kumpulan dan sumber segala hukum, norma-norma dan nilai-nilai yang menjadi landasan hidup Ono Niha (masyarakat Nias) baik perorangan maupun masyarakat banyak. Pada hakekatnya Fondrakõ menekankan pada sikap agar setiap masyarakat berbuat baik dan melarang segala bentuk kejahatan serta memberi dorongan dan petunjuk untuk berbuat menurut jiwa dari Fondrakõ tersebut. Jiwa Fondrakõ terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu: Masi-masi atau kasih sayang, Mõli-mõli atau pengasuhan/pencegahan dan Rourou atau dorongan dan motivasi. Hal ini hampir sama dengan apa yang sering kita dengar dalam bahasa Indonesia sehari-hari: Asah, Asih dan Asuh.

Beberapa hal yang diatur dalam Fondrakõ ialah, sebagai berikut: Amakhoita (Aturan) dan Huku (Hukum) dalam pelaksanaan pesta seperti pemberian nama anak, sunat, pernikahan, mendirikan rumah, menempa perhiasan rumah, mendirikan sebuah kampung, mendirikan Gowe (Tugu), juga pesta menanam dan pesta panen. Ada juga Amakhoita dan Huku dalam duka cita seperti kematian, kebakaran, peperangan dan berbagai dukacita lainnya. Amakhoita dan Huku dalam hal harta seperti harta pusaka, ternak, tanah, hibah, hutang piutang, dan masih banyak lainnya.

Amakhoita dan Huku tentang alat ukur, yaitu: Lauru (takaran padi), afore (meteran babi), fali’era (neraca emas), saga ni’omanu-manu (bungkal neraca), balõ gondrekhata (pengukur nilai/gram emas) dan masih banyak lainnya. Amakhoita dan Huku tentang acara keagamaan, dimana setiap kegiatan atau pekerjaan harus dimulai dengan doa. Amakhoita dan Huku tentang berburu dan menangkap ikan. Amakhoita dan Huku tentang kekeluargaan dan pergaulan.

Huku (Hukum) dan Ogauta (Sanksi) pelanggaran susila, mulai dari mengedipkan mata pada wanita sampai pada kehamilan di luar nikah. Huku dan Ogauta terhadap falelesa (cakimaki) serta fabewe (penyebaran kabar burung/gosip/mengatakan yang tidak-tidak terhadap orang lain). Huku dan Ogauta mencuri mulai dari mencuri ubi sampai menculik orang. Huku dan Ogauta dalam hal persengketaan mulai dari bertengkar sampai membunuh dan meracuni orang.

Demikianlah sebuah Fondrakõ dibuat oleh Salawa atau Balugu bersama dengan seluruh masyarakat dengan semangat kekeluargaan, persatuan dan kesatuan dengan berpegang pada falsafah “Salawa Fa’atulo, Salawa Fa’atuatua, Salawa Fa’abõlõ, Salawa Okhõta dan Salawa Sõfu. Artinya ialah Tinggi dalam keadilan, ilmu dan kebijaksanaan, kuat jasmani dan rohani, berkeadaan dan berwibawa. Telah menjadi satu tatanan nilai dan norma serta hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Nias sampai saat ini. Walaupun Fondrakõ hanya ditetapkan secara lisan tanpa dokumen-dokumen tertulis, namun pelanggaran terhadap Fondrakõ ini diyakini berbahaya bagi yang melanggar karena Fondrakõ diikrarkan oleh seluruh warga dengan doa dan sumpah sakral yang di pimpin oleh ere (imam).

Budaya dan Perubahan

Suatu kebudayaan sering memancarkan keluar suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar yang kelihatan oleh orang asing. Watak khas yang juga di kenal dengan istilah ethos budaya ini sering tampak dalam gaya tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya mereka.

Berdasarkan konsep ethos budaya ini, maka adat Fondrakõ dalam kehidupan masyarakat Nias memancarkan sifat-sifat yang agresif, ingin tahu, lebih banyak mendengar, ketat dan teratur, keras, kegemaran akan konsensus dan mengedepankan peran pemimpin.
Disamping adat Fondrakõ telah menjadi sistim budaya dalam kehidupan masyarakat Nias yang berfungsi untuk menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah-laku masyarakat, akan tetapi di sisi lain sistim budaya ini telah menstimulasi pola bertindak dan berpikir individu dalam masyarakat yang terinternalisasi melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan yang telah hidup sejak lama. Adat Fondrakõ telah berproses dan menjadi satu sistim budaya yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Kebiasaan-kebiasaan ini telah menentukan pola kepribadian, pola tindakan dan juga gagasan-gagasan yang dicetuskannya.

Dalam tulisan ini penulis tidak mempersoalkan tentang adat Fondrakõ, namun mencoba melihat bagaimana proses penyebarluasan atau sosialisasi adat Fondrakõ kepada masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya berpengaruh terhadap pola tindakan dan cara berpikir masyarakat Nias hingga saat ini.

Sosialisasi adat Fondrakõ secara lisan dari dulu sampai saat ini telah menstimulasi atau menciptakan masyarakat yang tidak pernah membaca akibat tidak terbiasa dengan budaya menulis. Kondisi ini mengakibatkan ketidakpedulian masyarakat akan aktivitas membaca.

Artinya ialah bahwa masyarakat Nias pada umumnya melalui sebuah proses yang pergerakannya melompat dari masa praliterer ke masa pascaliterer tanpa melalui masa literer. Masyarakat yang tidak pernah membaca akibat terbiasa dengan budaya lisan ke dalam bentuk masayarakat yang tidak hendak membaca, seiring masuknya teknologi telekomunikasi, informasi dan penyiaraan. Akibatnya, masyarakat lebih senang nonton televisi dari pada membaca, terbiasa menggunakan layanan pesan pendek di telepone genggam dari pada surat menyurat.

Transformasi Pendidikan Nias di Masa Transisi

Saat ini Nias sudah berada pada masa transisi pasca gempa bumi. Melalui sebuah proses panjang dari masa relief (tanggap darurat) menuju masa rehabilitasi dan sekarang disebut sebagai masa transisi, dimana masyarakat Nias dianggap telah mampu berdiri dengan kuat setelah jatuh akibat gempa bumi dan kini telah siap dilepas untuk berjalan sendiri.

Akan tetapi yang dibutuhkan Nias tidak hanya sebuah status. Saat ini Nias membutuhkan proses transfer ilmu pengetahuan. Kemampuan berjalan sendiri tanpa didukung dengan pengetahuan yang benar untuk mengarahkan ke arah yang lebih baik dan lebih maju, sama halnya dengan orang yang berjalan dalam gelap tanpa membawa pelita.
Saat ini Nias membutuhkan sebuah transformasi. Sebuah perubahan dari tradisi dan paradigma yang lama dimana masyarakat Nias telah distimulasi oleh budaya sendiri menjadi masyarakat yang tidak mau belajar dan membaca. Kita tidak cukup hanya dengan mangklaim bahwa daerah kita memiliki sumber daya alam yang berlimpah, alam yang indah, laut yang luas dan adat istiadat dan budaya yang sangat kaya. Karena jika terus mengandalkan itu tetapi tidak mengolah dengan baik untuk kelangsungan hidup masyarakat, maka suatu daerah hanya akan cenderung untuk tetap berada dalam posisi stagnan bahkan terbelakang. Kemajuan suatu daerah ditandai dengan peningkatan sumber daya manusia yang hebat untuk mengelola sumber daya alam yang ada.

Peningkatan sumber daya manusia terkait erat dengan dunia pendidikan. Melalui pendidikan yaitu dunia ‘belajar’ dan ‘membaca’, sumber daya manusia suatu daerah dapat dibangun dan dikembangkan untuk dapat menguasai, menerapkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan juga teknologi.

Cara sederhana tetapi ampuh dan berdampak besar untuk mentransformasi masyarakat ialah menghidupkan dan menggerakkan perpustakaan di Nias. Karena dengan itu masyarakat memperoleh banyak ilmu untuk diterapkan dalam praktek sehari-hari yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Mungkin saja kita akan berhadapan dengan tantangan-tantangan dimana masyarakat tidak berminat untuk membaca dan belajar. Akan tetapi kita tidak boleh putus asa karena kita harus mengerti bahwa hal itu merupakan bagian dari dampak budaya dan tradisi yang telah terpola menjadi sebuah paradigma masyarakat. Itulah yang perlu ditransformasi! Oleh karena itu perlu adanya kampanye dan sosialisasi gemar membaca atau rajin ke perpustakaan yang harus digaungkan secara terus menerus kepada masyarakat.

Konon, Julius Caesar, Raja Roma pernah menyerang ke Mesir. Namun, ternyata Mesir memiliki tentara yang sangat kuat. Saking kuatnya, Dia pun beserta pasukannya terjepit. Dalam keadaan terjepit itulah Julius Caesar memiliki ide untuk menghindari musuh dengan cara membakar perpustakaan besar Mesir yang bernama Alexandria. Waktu itu Julius Caesar berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Mesir. Rupanya dia tahu betul bahwa orang-orang Mesir sangat menghargai perpustakaannya.

Dari cerita di atas tersirat bahwa perpustakaan yang berisi sekumpulan buku yang disusun secara sistematis (pada waktu itu berupa papyrus) merupakaan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan harganya jauh lebih tinggi dari seorang raja Roma, sehingga mereka rela meloloskan musuhnya demi untuk menyelamatkan perpustakaan yang terbakar. Mereka sadar bahwa melalui perpustakaan pengetahuan yang mereka peroleh dapat diwariskan ke generasi berikutnya dan digunakan sebagai jembatan perantara dalam meningkatkan terus peradabannya ke tempat yang lebih tinggi.

Comments

Popular posts from this blog

KENDALA DAN HAMBATAN SERTA SOLUSI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN*

E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK KEPENTINGAN*

PELET JEPANG!

CORPORATE BRANDING AND CORPORATE REPUTATION

KOMUNIKASI HUMANIS*