Paradigma dan Perspektif*

Image
Oleh: Fikar Damai Setia Gea A.     Pengertian Paradigma Secara etimologis kata Paradigma bermula pada sejak abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari Bahasa Latin pada tahun 1943 yaitu paradigma   yang berarti suatu model atau pola. Sementara dalam Bahasa Yunani berasal dari kata paradeigma (para+deignunai) yang berarti untuk “membandingkan”, “bersebelahan” (para) dan “memperlihatkan” (deik). Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama khususnya dalam disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa pengertian paradigma menurut pada ahli adalah sebagai berikut: Pengertian paradigma menurut Patton (1975) : “A world view, a general perspective, a way of   breaking down of the complexity of the real world” (suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata) . Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs (197

MARI MERANGKUL MEREKA (ODHA) DENGAN “SMALL GROUP APPROACH”


Sebuah jargon iklan layanan masyarakat tentang anti HIV dan AIDS berbunyi “Jauhi Virusnya, Bukan Orangnya”. Iklan layanan masyarakat ini berpesan agar masyarakat menjauhkan diri dan waspada terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan terjadinya penularan HIV dan AIDS, akan tetapi bukan menghindari, menjauhkan diri atau bahkan menolak orang-orang yang sedang terjangkit HIV dan AIDS, melainkan mendekati mereka, memastikan status mereka dan melakukan berbagai tindakan penanggulangan. Namun, apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sampai saat ini, tidak saja hanya menjauhi virus HIV dan AIDS tetapi juga menjauhi orangnya dengan alasan perlindungan diri dari virus yang sangat berbahaya ini.

Hal ini terjadi karena sejak awal dalam benak masyarakat telah tertanam kesan bahwa HIV dan AIDS merupakan satu jenis penyakit yang sangat mematikan, merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan belum ditemukan obatnya sampai saat ini. Kesan yang telah tercipta dan telah mengakar ini membuat masyarakat ketakutan dan berusaha menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari kecenderungan tertular HIV dan AIDS. Akibatnya image masyarakat dalam memandang HIV dan AIDS sangat buruk dan sangat sulit untuk menerimanya.

Memang benar bahwa HIV dan AIDS sangat mematikan, dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan belum ditemukan obatnya sampai saat ini, akan tetapi hidup berdampingan dengan HIV dan AIDS dapat diatur. Masih banyak ditemukan masyarakat yang pemahaman dan pengetahuannya akan HIV dan AIDS masih kurang. Salah satu pertanyaan yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat ialah bagaimana HIV dan AIDS menular? HIV dan AIDS dapat menular melalui penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi, melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, penggunaan jarum bersama untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi dan melalui air susu ibu. Jadi, HIV tidak ditularkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau WC/Jamban yang sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Kendati pemahaman dasar ini sudah diketahui, namun ketakutan dan image buruk terhadap HIV dan AIDS masih mendominasi. Kondisi ini sangat berdampak negatif dalam tatanan sosial kemasyarakatan terutama terhadap mereka yang terjangkit HIV dan AIDS. Masyarakat sering menganggap bahwa orang dengan HIV dan AIDS ialah orang yang telah ternoda dan memiliki citra diri negatif. Masyarakat secara sepihak memberikan stigma sosial tanpa adanya sebuah alasan yang jelas. Belum tentu seseorang yang terjangkit HIV dan AIDS tertular sebagai akibat perbuatannya sendiri.
Kondisi ini terus berlanjut pada tingkat diskriminasi sosial. Sebuah hukuman sosial yang secara tidak langsung diterima oleh ODHA. Mereka dikucilkan dalam masyarakat, ditolak dalam keluarga, masih ada staff rumah sakit atau penjara yang menolak pelayanan kesehatan, pemutusan hubungan kerja dan membiarkan ODHA hidup dalam tekanan batin yang mendalam atau efek psikologi berat yang berujung pada depresi, rasa rendah diri, kurangnya penghargaan diri dan keputusasaan. Tidak hanya berhenti sampai disitu, dalam skala nasional dampak dari meningkatnya jumlah ODHA dan kurangnya upaya penanggulangan yang berarti di Indonesia ialah menurunnya angka harapan hidup terutama bagi orang muda dengan usia produktif yang terjangkit HIV dan AIDS yang berakibat pada ketidakseimbangan ekonomi dimana pada akhirnya meningkatnya kemiskinan.

Secara sadar atau tidak sadar stigma dan diskriminasi terhadap ODHA membuka jalan mulus bagi laju perkembangan epidemi HIV dan AIDS. Ibarat analogi gunung es, akibat stigma dan diskriminasi banyak ODHA tidak mau terbuka, merasa malu, takut dikucilkan di masyarakat sehingga tidak mau melakukan pengecekan kesehatan dan manjalani sendiri penyakit dalam dirinya tanpa ada tindakan penanggulangan yang tepat. Sementara berbagai aktifitas yang cenderung mengakibatkan penularan HIV dan AIDS masih terus dilakukan. Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, secara kumulatif mencatat bahwa pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS sampai bulan Maret 2009 ialah HIV 6668 kasus dan AIDS 16964 kasus. Total HIV dan AIDS 23632 kasus dengan jumlah kematian 3492. Khususnya dalam triwulan pertama dari 1 Januari s/d 31 Maret 2009 tercatat pengidap infeksi HIV 114 dan kasus AIDS 854 dengan total 968 kasus. Angka ini belum termasuk kasus yang belum tercatat di Departemen Kesehatan RI dan kasus yang masih disembunyikan. Dikhawatirkan suatu saat nanti angka ini akan meledak dan menjadi sebuah wabah atau bencana besar bagi bangsa Indonesia.
Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana caranya agar stigma dan diskriminasi di masyarakat dapat dihentikan?

Stigma dan diskriminasi terjadi pada tingkatan dimana seseorang telah terjangkit HIV dan AIDS. Masyarakat memberikan stigma sosial sebagai pengidap HIV dan AIDS dan melakukan penolakan dan mengucilkan orang yang bersangkutan ketika masyarakat telah mengetahui bahwa seseorang itu telah terjangkit HIV dan AIDS. Jadi, stigma dan diskriminasi merupakan bagian dari tataran permasalahan sosial. Mengapa dikatakan demikian? Karena stigma dan diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Stigma dan diskriminasi merupakan perbuatan immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Karena masyarakat merendahkan sesama anggota masyarakat, mengucilkan, melanggar prinsip-prinsip kesamaan hak azasi manusia dan kesamaan di depan hukum, melanggar prinsip nondiskriminasi dan membantu perkembangan laju epidemi HIV dan AIDS.

Oleh karena itu, untuk mencegah dan menghentikan stigma dan tindakan diskriminatif terhadap ODHA pun harus dimulai dari lingkungan sosial. Ketika seseorang tertular atau terjangkit HIV dan AIDS, maka orang pertama yang tahu atau diberitahu ialah orang-orang terdekat seperti keluarga dan sahabat. Keluarga dan sahabat merupakan bagian dari lingkungan sosial yang disebut kelompok kecil. Mengapa upaya anti stigma dan diskriminasi melalui pendekatan kelompok kecil dirasa efektif? Ada beberapa alasan yaitu; pertama, kualitas komunikasi dalam sebuak kelompok kecil bersifat dalam dan meluas. Artinya ialah komunikasi dalam kelompok menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi dan mampu menyingkap unsur-unsur privat serta tanpa adanya batasan ruang dan cara komunikasi.

Kedua, komunikasi dalam kelompok kecil bersifat personal. Artinya ialah hubungan antara anggota kelompok sangat dekat dan akrab sehingga segala sesuatu dapat diungkapkan tanpa adanya rasa sungkan termasuk rahasia-rahasia pribadi sekalipun. Ketiga, komunikasi dalam kelompok kecil lebih menekankan pada aspek hubungan. Artinya ialah antara anggota kelompok takut kehilangan anggota kelompok yang lain. Anggota kelompok merupakan tempat mengadu bagi anggota kelompok yang lain. Keempat, komunikasi yang terjadi dalam kelompok kecil sifatnya ekspresif. Artinya ialah hubungan antara anggota kelompok bebas tanpa ada aturan yang mengikat. Sehingga, diharapkan bahwa komunikasi yang terjalin dalam kelompok kecil ini lebih akrab dan lebih menyentuh hati sesama anggota kelompok.

Akan tetapi, bagaimana sebuah kelompok kecil ini dapat memberikan dampak terhadap sebuah masyarakat yang luas? Kelompok kecil pada hakekatnya merupakan miniatur masyarakat atau juga dapat disebut sebagai sel yang menggerakkan suatu organisme yang dinamakan masyarakat. Pergerakan sel merupakan sebuah pergerakan organisme, jadi pergerakan sebuah kelompok kecil mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat dan juga perilaku sehari-hari individu yang akan bergerak secara menyeluruh. Pengaruh kelompok kecil sebagai bagian dari masyarakat inilah yang akan memberikan dampak yang luas kepada masyarakat untuk tidak memberikan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Justru sebaliknya, ketika satu anggota kelompok peduli dengan anggota kelompoknya dan begitu juga antara satu kelompok dengan kelompok yang lain hingga mengakar sampai pada tataran masyarakat, maka tercipta satu kebiasaan, budaya, struktur atau kode etik dalam masyarakat. Sehingga barang siapa yang melakukan tindakan diskriminasi dan memberikan stigma sosial tertentu kepada masyarakat sebaliknya akan mendapat teguran sosial dari masyarakat.

Untuk menyukseskan upaya-upaya ini, sangat diperlukan pula peranan pemerintah atau para stakeholder. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sebagai dukungan terhadap pendekatan kelompok kecil ini ialah penggalangan iklan layanan masyarakat yang menuntut peran kelompok kecil dalam menyuarakan anti stigma dan diskriminasi, peningkatan frekuensi dan intensitas pelayanan para stakeholder, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menjangkau berbagai organisasi kepemudaan atau karang taruna untuk menjangkau generasi muda dan peran pelayan kesehatan di pusat kesehatan masyarakat atau pos pelayanan terpadu untuk menjangkau keluarga-keluarga. Tak terkecuali juga peran tokoh masyarakat sebagai agen perubahan untuk menjangkau masyarakat dan juga peran tokoh agama untuk menjangkau umat.

Adapun hal-hal yang menjadi prioritas ialah memberikan informasi dan pengetahuan tentang HIV dan AIDS, berusaha untuk membuka diri dan saling memberi dukungan dan kepercayaan kepada teman satu kelompok sehingga bersedia untuk mengecek kesehatan dan mengikuti tindakan penanggulangan selanjutnya dan tidak memberi lebel tertentu atau bertindak diskriminatif terhadap ODHA melainkan sebaliknya mendukung mereka dan menyuarakan anti stigma dan diskriminasi di tengah-tengah masyarakat.

Kita berharap bahwa epidemi HIV dan AIDS di Indonesia tidak terus meningkat melainkan menurun dan dapat terus ditekan sehingga masyarakat Indonesia bebas dari stigma dan diskriminasi, melainkan hidup sehat, makmur dan sejahtera.

Comments

Popular posts from this blog

KENDALA DAN HAMBATAN SERTA SOLUSI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN*

E-BUDGETING: MENGAWAL ASPIRASI MASYARAKAT DARI POLITIK KEPENTINGAN*

PELET JEPANG!

CORPORATE BRANDING AND CORPORATE REPUTATION

KOMUNIKASI HUMANIS*